Kamis, 22 November 2012

Alquran dalam pandangan orientalis




PENDAHULUAN

Alquran adalah kitab suci umat Islam yang menjadi dasar segala segi kehidupan manusia. Ia diyakini sebagai sumber kebenaran yang mutlak. Karena datang dari Allah swt. Maka dari itu umat Islam merasa perlu untuk mempelajari Alquran secara menyeluruh untuk menjaga otentisitasnya. Upaya itu telah dilaksanakan sejak Nabi Muhammad Saw masih berada di Mekkah sampai hijrah ke Madinah, bahkan usaha pemeliharaan Alquran masih berlangsung sampai sekarang.
Meskipun Alquran itu adalah wahyu Ilahi yang bersifat qath’i, namun pada prakteknya terdapat dua penilaian yang kontradikfif terhadap Alquran.Penilaian pertama datangnya dari kaum muslim sendiri sedangkan penilaian yang kedua datangnya dari kalangan non muslim (Orientalis).
Penilaian dari luar (orientalis) pada umumnya bersifat negatif. Menurut mereka, Alquran itu bukanlah wahyu Allah, melainkan hasil karya Nabi Muhammad yang sumbernya dari berbagai pihak.
Dalam makalah ini, akan dibahas mengenai berbagai macam pendapat orientalis tentang otentisitas Alquran. Dari aspek mana saja para kaum orientalis mencari celah untuk menyerang Alquran, dan apa-apa saja argumen mereka.










PEMBAHASAN
A.    Pengertian Alquran
Di kalangan para ulama dan pakar bahasa Arab, tidak ada kesepakatan mengenai asal pengambilan dan arti kata Alquran. Menurut al-Syâfi’î, kata Alquran adalah nama asli dan tidak pernah diambil dari kata lain. Kata tersebut khusus dipakai untuk nama firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Menurut al-Asy’arî, kata Alquran berasal dari kata qarana yang berarti menggabungkan, sebab surat-surat dan ayat-ayat Alquran itu telah digabungkan antara yang satu dengan yang lain sehinggga menjadi satu. Menurut al-Lihyânî, kata Alquran berasal dari kata kerja  qara’a yang berarti membaca dengan padanan kata fu’lân namun mengandung makna maqrû’ yang dalam bahasa Indonesia berarti yang dibaca atau bacaan.
Menurut Shubhî Shâlih, dari semua pendapat di atas, hanya pendapat al-Lihyânî yang dipandang paling kuat dan diterima oleh mayoritas ulama. Hal ini disebabkan Alquran sendiri telah mempergunakan kata qur’an tanpa al dengan arti bacaan. Misalnya yang terdapat dalam Q.S al-Qiyâmah (75); 17-18:
¨bÎ) $uZøŠn=tã ¼çmyè÷Hsd ¼çmtR#uäöè%ur ÇÊÐÈ   #sŒÎ*sù çm»tRù&ts% ôìÎ7¨?$$sù ¼çmtR#uäöè% ÇÊÑÈ  
Artinya: Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.
            Dari kalangan orientalis, seperti Schawally, Welhausen dan Horofitz berpendapat bahwa Alquran itu berasal dari kata keryana. Keryana dalam bahasa Ibrani atau Suryani yang berarti bacaan atau apa yang dibaca. Mereka juga mengatakan bahwa kata qirâ’at dengan arti membaca tidak berasal dari bahasa Arab asli. Pendapat para kaum orientalis ini ternyata di bantah oleh Subhî Shâlih dalam karyanya Mabâhits Fî ‘Ulûm Alqurân yang menyatakan bahwa kata qara’a dengan arti membaca memang belum dipakai oleh orang-orang Arab pada masa jahiliyyah dahulu. Waktu itu, kata qara’a dipakai dengan arti bunting. Sedangkan kata qara’a dengan arti membaca dipungut oleh orang-orang Arab dari bahasa Arami.[1]
Secara terminologi, menurut Dr. Muhammad ‘Alî al-Shâbûnî Alquran adalah:

كلام الله المنزل على خاتم الأنبياء والمرسلين بواسطة اللأمين جبريل عليه السلام المكتوب في المصاحف المنقول الينا باالتواتر المبدوء بسورة الفاتحه المختوم بالسورة الناس
“Kalamullah yang mu’jiz yang diturunkan kepada Nabi dan Rasul terakhir dengan perantara malaikat Jibril As yang ditulis dalam mushhaf, disampaikan kepada kita secara mutawatir, dan dimulai dengan surah al-Fâtihah dan diakhiri dengan surah an-Nâs.”[2]

B.     Selayang Pandang Tentang Alquran

Alquran terdiri dari 114 bab yang disebut dengan surah atau shurah (jamak: shuwar). Setiap surah Alquran, di samping menyandang nomor urut, memiliki nama yang di ambil dari kandungannya. Masing-masing surah terdiri dari sejumlah ayat  (ayah, jamak: ayat). Surah-surah AlQuran memiliki panjang dan jumlah ayat yang berbeda. Jumlah ayat paling kecil dalam suatu surah adalah 3 (QS 103, 108, dan 110), sementara jumlah ayat terbesar adalah 286 (QS 2). Seratus empat belas surah Alquran seacra keeluruhan mengandung 6.236 ayat. Satu ayat Alquran mungkin terdiri dari hanya beberapa huruf atau sepanjang puluhan kata.
            Alquran diwahyukan dengan jumlah ayat bervariasi. Ayat-ayat dalam satu surah terlapas dari surah-surah pendek biasanya membahas bebagai isu yang berbeda. Karena itu, pokok pembicaraan ayat-ayat yang berurutan tidak mesti terkait satu sama lain. Ayat-ayat dalam surah-surah panjang tidak selalu di susun menurut urutan historis turunnya. Dalam surah tertentu, biasanya di temukan sejumlah ayat yang turun lebih awal di tengah-tengah ayat-ayat yang turun lebih belakangan, dan demikian pula sebaliknya. Misalnya, sejumlah surah yang di wahyukan sebelum hijrah Nabi saw. Dari Makkah ke Madinah memuat ayat-ayat yang di wahyukan setelah hijrah. Surah-surah itu sendiri tidak di susun dalam Kitab suci menurut urutan pewahyuannya. Misalnya surah yang memuat ayat-ayat yang pertama di wahyukan memiliki nomor urut 96 dalam Alquran dan, karenanya, surah pertama dalam Alquran bukanlah surah yang pertama di wahyukan. Penyusunan dalam suarh-surah dalam mushaf Alquran dan ayat-ayat dalam setiap surah yang khas ini di pandang sebagai bagian dari kemurnian Alquran itu sendiri. Dengan kata lain, ayat dan surah di susun seperti itu oleh Nabi Muhammad Saw. Sebagaimana di ajarkan Allah Swt.
            Alquran adalah kitab suci untuk menggenal Allah, Tuhan Yang Esa. Kitab ini di wahyukan kepada Nabi Muhammad Saw. (570-632 M) selama kurang lebih 22 tahun (610-632 M). kitab suci ini berisi kisah-kisah historis para nabi yang hidup sebelum masa Nabi Muhammad Saw. Perlu dikemukakan bahwa penyebutan peristiwa-peristiwa historis yang terbesar dalam Alquran pada dasarnya dimaksudkan untuk menekankan pesan keagamaan yang dikandumg peristiwa-peristiwa itu. Karenanya, penekanannya bukan pada penuturan sejarah secara konvensional, seperti halnya dalam Bibel. Dengan kata lain, penekanannya tidak terletk pada sejarah saja, tetapi pada pelajaran di balik peristiwa historis. Oleh karena itu, dalam hal dan gaya strukturnya, juga kandungannya, Alquran sangat berbeda dengan Bibel.
            Salah satu kekhasan kisah-kisah Alquran adalah keringkasannnya. Beberapa detail historis yang biasanya sangat penting dalam dongeng tradisional tidak disebutkan dalam Alquran. Misalnya nama-nama karakter dan tempat-tempat utama sering tidak disebutkan dalam Alquran. Salah satu contoh penting adalah nama istri Adam yang tidak pernah di sebutkan dalam kitab suci ini, meskipun kisahnya sering dibicarakan di sejumlah bagian. Contoh lainnya adalah tempat kelahiran Isa (Yesus). Yang menarik , nama raja Mesir dalam kisah Musa juga tidak disebut dalam Alquran, dan hanya disebut dengan gelarnya, Firaun. Ini mengisyaratkan bahwa Firaun juga tidak disebutkan namanya dalam Taurat, kitab suci yang diwahyukan kepada Musa. Hal ini menjelaskan fakta yang mengganggu sebagian sarjana (misalnya Dever, 1997:68) bahwa Firaun tidak disebutkan namanya dalam kisah Musa dalam Bibel. Harus diingat bahwa Bibel sebagian berasal dari Taurat. Demikian pula, Alquran tidak menyebut secara khusus durasi peristiwa-peristiwa.
Detail kisah Alquran mungkin ditemukan terpencar pencar diseluruh kitab suci ini dalam sejumlah ayat yang berbeda, karena ayat-ayat yang berurutan dalam satu surah tidak mesti saling terkait secara langsung, sebagaimana telah disebutkan. Beberapa rinciannya mungkin di ulang dalam lebih dari satu surat. Karena gaya Alquran dalam menarasikan sejarahlah sehingga penyebutan berulang-ulang terhadap pristiwa tertentu mungkin mengambil bentuk yang berbeda dalam surah-surah yang berbeda. Misalnya, suatu perkataan seorang tokoh historis mungkin muncul dalam sejumlah ungkapan yang bereda dengan maksud menunjukkan makna perkataan tersebut. Dalam banyak kasus, perkataan tersebut aslinya tidak diucapkan dalam bahasa Arab Alquran, kadang-kadang sama sekali tidak dalam bahasa Arab, seperti dialog antara Musa dan Fir’aun (yang tentulah berlangsung dalam bahasa Mesir kuno. Penyebutan detail historis tertentu dalam surah yang berbeda dapat menunjukan perbedaan tekanan terhadap aspek-aspek kisah tersebut. Oleh karena itu, untuk menyusun suatu gambaran yang lengkap dan utuh dari suatu kisah dalam Alquran, kita harus menyatukan seluruh penggalan kisah tersebut yang tersebar disepanjang Alquran.[3]

C.    Kritik Orientalis Tentang Otentisitas Alquran
Alquran menurut pandangan dan keyakinan umat Islam adalah kalam (firman) Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Pandangan yang demikian tentu tidak selalu diterima oleh orang-orang non muslim. Sebagian mereka berusaha menampik pandangan tersebut. Bahkan sebagian orientalis mengemukakan pandangannya tentang sisi kepalsuan dari Alquran dengan sangat berlebihan. Orientalis menyerang Alquran dalam berbagai dimensi untuk dapat menyajikan suatu citra beberapa upaya dan tujuan Barat dalam mencemarkan kemurnian teks Alquran menggunakan sumber-sumber tidak etik dan penipuan. Berikut beberapa pandangan mereka terhadap Alquran.
a.      Alquran Bukan Kalam Allah
Seorang orientalis yang bernama Dr. Hendreck Kreamer mengemukakan pandangan tentang Alquran dalam bukunya yang berjudul Agama Islam sebagai berikut:
“Kitab Alquran itu berasal dari tiga pihak. Pertama, semacam buah pikiran dan perolehan Nabi Muhammad sendiri yang timbul oleh pergaulan Nabi dengan orang lain. Dari itu terbitlah khutbahnya tentang Allah ta’ala yang Esa, hari kiamat, hukuman, dan syari’at agamanya. Kedua, Nabi mendapatkannya dari orang-orang Yahudi dan Masehi pada masa itu. Misalnya tentang puasa, zakat, shalat, hikayat-hikayat Nabi dan lain sebagainya. Ketiga, berbagai macam rupa yang timbul dalam ingatannya atau yang didengarnya kemudian diperkenalkannya sebagai firman Allah”.[4]
Dan menurutnya lagi,  sebagian isi Alquran diperoleh dari kitab Perjanjian Lama, sedangkan ajaran tentang hari kiamat yang pada dasarnya tidak diketahui oleh orang-orang Arab berasal dari agama Masehi. Kreamer berpendapat seperti ini setelah ia melihat adanya beberapa persamaan antara sebagian dari isi Alquran dengan kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.[5]
            Selain Dr. Hendreck Kreamer, tokoh orientalis lainnya seperti Goldziher, Margelot mengatakan bahwa Alquran adalah perkataan Nabi Muhammad SAW sendiri yang sering diganti dan dirubah sesuai dengan situasi dakwah, kondisi lingkungan dan lain sebagainya.[6] Tokoh orientalis lainnya yang sependapat dengan mereka adalah George Sale. Dalam pembukaan terjemahan Alquran bahasa Inggris yang terbit di London pada tahun 1736, ia menulis:
            “Muhammad adalah penulis Alquran dan pencetus utamanya, hal ini tidak perlu diperdebatkan lagi. Meskipun kerjasama Muhammad dengan orang lain untuk menulisakan Alquran itu dicapai, tetapi perlu diyakini bahwa kerjasama seperti itu bukanlah suatu hal yang mudah, karena pengikutnya tidak pernah membantahnya.”
            George Sale adalah seorang tokoh orientalis yang menekuni Islam sampai pada tahap seakan-akan dia adalah soerang muslim yang sebenarnya. Argumen George Sale ini pada tahun 1841 dijadikan pembukaan kembali pada terjemahan Alquran dalam bahasa Prancis yang dilakukan tokoh orientalis lainnya yang bernama Kasmirski. Pembukaan tersebut telah menjadi rujukan ilmiah dan andalan bagi kaum orientalis dalam kurun waktu yang lama. Menurut mereka isinya mencakup ajaran Islam secara utuh.
            Ricard bell, penulis buku “Introduaction to  The Quran” berpendapat bahwa ketika Nabi Muhammad menulis Alquran berpegang teguh kepada kitab suci, khususnya kepada hal-hal yang berkaitan dengan kurun lampau (di bagian kisah-kisah). Sebagian kisah siksaan (misalnya tentang kaum ‘Ad dan Tsamud) bersumber dari Arab, tetapi porsi terbanyak yang dipakai Muhammad dalam menafsirkan dan menopang pengajarannya bersumber dari Yahudi dan Nasrani. Kesempatannya tinggal di Madinah digunakan untuk mengenal zaman kuno, karena di Madinahlah ia berkenalan dengan generasi Yahudi. Dengan cara seperti ini Muhammad banyak menimba pengetahuan dari kitab-kitab Mûsa.
            John Pitt, seoarang orientalis kelahiran Exeter dalam bukuya “A True and faithful Account of Religion and Manner of Muhammadens” mengatakan bahwa Alquran bukan merupakan wahyu Allah, lebih lanjut ia mengatakan bahwa Alquran adalah suatu kitab yang tidak diperlukan karena Alquran merupakan kumpulan dongeng dan legenda kepalsuan yang penuh dengan pertentangan dan membingungkan antara ayat satu dengan ayat lainnya. Oleh karena itu John Pitt sangat menentang jika Alquran disamakan dan disejajarkan dengan kitab suci lainnya.
            Pada abad pertengahan, sejumlah orientalis di Eropa telah meneliti konsep-konsep Muhammad dan mereka sepakat mengatakan bahwa Nabi Muhammad bukanlah Nabi yang menerima wahyu dari Tuhan. Karena itu, Gustav Weil berani mengambil kesimpualan dengan mengatakan bahwa Nabi Muhammad adalah seorang penderita penyakit epilepsi (ayan). Aloys Spreanger menambahkan pendapat Gustav Weil dengan mengatakan bahwa Nabi Muhammad itu mengalami hysteria[7] yang berat. Bahkan dalam menggugat keabsahan Nabi Muhammad sebagai penerima wahyu, tokoh orientalis lainnya yang bernama Thomas Patrick Huges mengatakan dalam bukunya The Dictionary of Islam bahwa Nabi Muhammad itu berpura-pura sajatidak pandai menulis dan membaca agar karangan Alquran itu dapat dijadikan sebagai mukjizat yang membuktikan bahwa Muhammad adalah seorang Rasul Allah.[8]
            Pandangan diatas adalah pandangan kaum orientalis yang negatif terhadap Alquran. Frithjof Schoun, tokoh orientalis yang objektif mengatakan bahwa Alquran adalah kitab yang penting untuk dipelajari sebagai bagian dari ilmu pengetahuan. Ia mengatakan bahwa teks-teks Alquran itu mengandung makna spritual yang tercakup dan terangkum dalam keindahan bahasa Alquran. Alquran bukanlah merupakan sebuah legenda kepalsuan, atau bukan hanya merupakan kalam Allah, kumpulan suara, bahasa, dan huruf-huruf, tetapi juga merupakan keunggulan dan kesempurnaan bahasa yang teramat indah. Alquran merupakan syair sempurna dan sangat tinggi nilainya. Meskipun begitu Alquran bukanlah kitab syair. [9]
Tidak dapat dipungkiri lagi sebab utama kaum orientalis menuduh bahwa Alquran adalah buatan Nabi Muhammad dikarenakan dendam terhadap Islam. Selain itu, Alquran dengan tegas mengatakan bahwa para pemuka agama Yahudi dan Nasrani telah mengadakan perubahan terhadap kitab suci mereka. Bahkan Alquran dengan tegas megingkari konsep trinitas agama kristen.[10]
b.      Kritikan Orientalis terhadap Kompilasi Alquran
Pintu gerbang selanjutnya yang digunakan orientalis sebagai alat penyerang terhadap teks AI-Qur'an, salah satunya adalah menghujat tentang penulisan serta kompilasinya. Pihak Orientalis mempertanyakan mengapa jika Alquran sudah ditulis sejak zaman Nabi Muhammad, `Umar merasa khawatir dengan kematian para huffaz pada peperangan Yamamah dan memberi tahu Abu Bakar akan kemungkinan lenyapnya Kitab Suci ini lantaran kematian mereka. Lebih jauh lagi, mengapa bahan­-bahan yang telah ditulis tidak disimpan di bawah pemeliharaan Nabi Muhammad sendiri? Jika demikian halnya, mengapa pula Zaid bin Thabit tidak dapat memanfaatkan dalam menyiapkan Suhuf itu? Meskipun berita itu diriwayatkan oleh al-Bukhari dan dianggap sah oleh semua kaum Muslimin, penjelasan itu tetap dianggap oleh kalangan Orientalis bahwa apa yang didiktekan sejak awal dan penulisannya dianggap palsu.

Menurut Athur Jeffery, Para ilmuwan Barat tidak sependapat bahwa susunan teks Alquran yang ada di tangan kita sekarang, sama dengan apa yang terdapat pada zaman Nabi Muhammad. Di sini apa yang dimaksud Jeffery adalah susunan surah dan ayat­-ayatnya.

Katakanlah terdapat satu naskah Alquran milik Nabi Muhammad. mengapa beliau lalai menyerahkannya pada para Sahabat untuk disimak dan dimanfaatkan? Besar kemungkinan, di luar perhatian, tiap nasikh-mansukh, munculnya wahyu baru, ataupun perpindahan urutan ayat-ayat tidak akan tecermin dalam naskah di kemudian hari. Dalam masa[ah ini, beliau akan membuat informasi keliru dan melakukan sesuatu yang merugikan umatnya; kerugian yang ada dirasa lebih besar dari manfaatnya. Jika naskah itu terdapat, mengapa Zaid bin Thabit tidak memakainya sebagai sumber utama di zaman pemerintahan Abu Bakar? Sebelumnya, telah saya kemukakan bahwa guna mendapat legitimasi sebuah dokumen, seorang murid mesli bertindak sebagai saksi mata dan menerima secara langsung dari guru pribadinya. Jika unsur kesaksian tidak pernah terwujud, adanya buku seorang ilmuwan yang telah meninggal dunia, misalnya, akan menyebabkan kehilangan nilai teks itu. Demikianlah apa yang dilakukan oleh Zaid bin Tsabit dalam mendikte ayat-ayat Alquran kepada para Sahabat. Nabi Muhammad melembagakan sistem jaringan jalur riwayat yang lebih tepercaya didasarkan pada hubungan antara guru dengan murid; sebaliknya, karena beliau tidak pernah menyerahkan bahan-bahan tertulis, maka tidak ada unsur kesaksian yang terjadi pada naskah kertas kulit yang dapat digunakan sebagai sumber utama untuk tujuan perbandingan, baik oleh Zaid maupun orang lain.

Tetapi jika keseluruhan Alquran telah direkam melalui tulisan semasa kehidupan Nabi Muhammad dan disimpan baik dalam pengawasan beliau maupun para Sahabat, mengapa pula `Umar takut kehilangan Al-Qur' an karena syahidnya para huffaz? Hal ini sekali lagi, menyangkut tentang hukum persaksian.

Dengan jumlah yang ribuan, para huffaz memperoleh ilmu pengetahuan Alquran melalui satu-satunya otoritas yang saling beruntun di muka bumi ini yang akhirnya sampai pada Nabi Muhammad Setelah beliau wafat, mereka (para sahabat) menjadi sumber otoritas yang juga saling beruntun. Kematian mereka hampir-hampir telah mengancam terputusnya kesaksian yang berakhir pada Nabi Muhammad yang mengakibatkan untuk mendapat ilmu yang diberi otoritas kurang memungkinkan. Demikian juga apabila mereka mencatat ayat-ayatnya menggunakan tulisan tangan akan kehilangan nilai sama sekali, karena pemiliknya sudah masuk ke liang lahat dan tidak dapat memberi pengesahan tentang kebenarannya. Kendati mungkin terdapat secercah bahan tulisan yang secara tak sengaja persis sama dengan Alquran seperti yang dihafal oleh yang lain, selama masih terdapat saksi utama yang sesuai, ia akan menjadi paling tinggi, menempati urutan ke tiga dari dokumen yang sah. Itulah sebabnya dalam membuat kompilasi Suhuf, Abu Bakar bertahan pada pendiriannya bahwa setiap orang bukan saja mesti membawa ayat, melainkan juga dua orang saksi guna membuktikan bahwa penyampaian bacaan itu datang langsung dari Nabi Muhammmad (kita temukan hukum kesaksian ini juga dihidupkan kembali di zaman pemerintahan `Utsman). Ayat-ayat yang telah ditulis tetap terpelihara dalam rak-rak dan lemari simpanan, baik tanah Yamamah itu mengisap darah para huffaz ataupun tidak, akan tetapi otoritas saksi yang merupakan poin paling penting dalarn menentukan keutuhan nilai sebuah dokumen, yang paling dijadikan titik sentral kekhawatiran ' Urnar.

c.       Merubah Alquran 
Pada tahun 1847, Gustav Flugel mencetak sejenis indeks Alquran. la juga menguras tenaga ingin mengubah teks-teks Alquran yang berbahasa Arab dan pada akhirnya menghasilkan suatu karya yang tidak dapat diterima oleh pembaca Alquran. Sudah jadi kesepakatan di kalangan kaum Muslimin, untuk membaca Alquran harus menurut gaya bacaan salah satu dari tujuh pakar bacaan yang terkenal yang semuanya mengikuti kerangka tulisan `Utsmani dan sunnah dalam bacaannya (qira'ah), perbedaan-perbedaan yang ada, kebanyakan berkisar pada beberapa tanda bacaan diakritikal yang tidak berpengaruh sama sekali terhadap isi kandungan ayat-ayat itu. Setiap Mushaf yang dicetak berpijak pada salah satu dari Tujuh Qira'at yang diikuti secara seragam sejak awal hingga akhir. Tetapi Flugel menggunakan semua tujuh sistem bacaan dan memilih satu qira'ah di sana sini dengan tidak menentu (tanpa alasan yang benar) yang hanya membuahkan ramuan cocktail tak berharga. Bahkan Jeffery (yang dikenal tidak begitu bersahabat dengan tradisi keislaman) malah bersikap sinis dengan menyebut,

            “Edisi Flugel yang penggunaannya begitu meluas dan berulang kali dicetak, tak ubahnya sebuah teks yang sangat amburadul, karena tidak mewakili dari tradisi teks ketimuran yang murni mau pun teks dari berbagai sumber yang ia cetak, serta tidak memiliki dasar ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan.”[11]


d.      Pemutarbalikan Makna Alquran
Robert of Keton, menerbitkan Alquran yang diproduksi Barat dengan sistem terjemahan “sensor penerbitan”. Pembela-pembela Kristen berpegang pada Alquran produksi Barat tersebut dan terjemahan-terjemahan lain yang kacaudan mereka tafsirkan sesuai dengan keinginan hawa nafsu mereka. Peter The Venerable, Pedro Paskal, dan Ricardo memahami Alquran dengan cara mereka sendiri, yaitu mengutamakan tafsir mereka sendiri daripada tafsir Alquran yang disusun oleh umat Islam. Bhakan mereka menolak tafsir Alquran yang dimiliki umat Islam sebagaimana yang dikatakan oleh Daniel.
Kaum orientalis mempelajari Alquran dengan berbagai terjemahan untuk memutarbalikkannya secara sengaja atau karena kejahilan serta tidak bertujuan untuk memahami Alquran sebagai kitab Ilahi. Tujuan mereka adalah memutarbalikan kebenaran dan mencari-cari sandaran atau sarana penegsahan Injil. Alquran memerintahkan agar umat Islam mempercayai Isa dan wahyu yang diturunkan kepadanya. Sehingga mereka beranggapan bahwa Injil yang mereka pegang adalah kitab Ilahi. Mereka bergembira atas kepercayaan yang diberikan Alquran kepada mereka, akan tetapi mereka tidak mau mempercayai Alquran.[12]

e.       Alquran Berasal dari Yahudi
Orientalis kontemporer seperti Andrew Rippin pun mengakui bahwa Abraham Geiger yang pertama kali menggunakan pendekatan baru, yaitu dengan menggunakan aspirasi modern dalam memahami Alquran. Geiger menulis karyanya dalam bahasa Latin, kemudian dipublikasikan pada tahun 1833 dalam bahasa Jerman dengan judul Was Hat Muhammed aus dem Judenthum aufgenommen? (What did Muhammed Borrow from Judaism?. Karya tersebut ditulis untuk mengikuti kompetisis masuk ke Universitas Bonn tahun 1832.
Dalam karyanya Geiger berpendapat bahwa kata-kata yang terdapat dalam Alquran seperti Tabut, Taurat, Jannatu’Adn, Jahannam, Ahbar, Darasa, Rabani, Sabt, Taghut, Furqan, Ma’un, Masani, dan Malakut berasal dari bahasa Ibrani. Selain kata-kata diatas Geiger kemudian berpendapat bahwa Alquran juga terpengaruh dengan agama Yahudi ketika mengemukakan hal-hal berikut. Pertama, hal-hal yang menyangkut keimanan dan doktrin. Kedua, peraturan-peraturan hukum dan moral, dan ketiga pandangan tentang kehidupan.
Bukan hanya itu, cerita-cerita yang ada di dalam Alquran juga tidak terlepas dari pengaruh agama Yahudi, Geiger juga membahas ayat-ayat dalam Alquran yang mengecam Yahudi, namun menurut penafsiran Geiger kecaman tersebut dilakukan karena Muhammad saw telah menyimpang dan salah paham terhadap doktrin-doktrin Yahudi.[13]

f.        Gugatan terhadap keotentikan Alquran di Indonesia
Ketika Nurcholis Madjid meluncurkan gagasan sekularasi pada bulan Januari 1970,  mungkin belum terlintas dalam pikiran kaum muslimin di Indonesia baahwa sekularasi dan liberalisasi Islam juga akan menyentuh hal-hal yang sangat mendasar, yaitu seputar autensitas Alquran atau Mushaf Utsmani. Agenda untuk meragukan keabsahan atau autensitas Alquran sebagai wahyu Allah memang telah lama digarap secara serius oleh kalangan orientalis dan misionaris Kristen. Hal itu misalnya dapat dilihat dalam buku Islam: A Challenge to Faith karya Samuel M. Zwemer.
Di Indonesia sendiri upaya untuk meragukan Alquran telah dilakukan oleh kalangan misionaris Kristen seperti Pendeta Suradi dari kelompok Nehemia, dalam wawancara dengan majalah Gatra, Suradi menyatakan bahwa Alquran bukanlah wahyu dari Allah swt.
Ironisnya upaya untuk meragukan Alquran juga muncul dikalangan aktivis jaringan Islam liberal, meskipun dalam kadar dan cara yang lebih halus dari yang dilakukan Zwemer, Suradi, dan lain-lain. Namun dampak yang ditimbulkan sama saja, yaitu tidak meyakini bahwa Alquran bukan wahyu Allah, hal ini dapat dapat disimak dalam dialog penulis dengan aktivis jaringan Islam liberal berikutnya.
Sebutlah gagasan tentang Alquran edisi kritis oleh Islam liberal yang sebenarnya tidak mengakar dalam tradisi pemikiran Islam, bahkan dengan mudah dapat ditelusuri bahwa gagasan seperti ini sebenarnya meneruskan jejak kalangan orientalis dan misionaris kristen.[14]




KESIMPULAN

Alquran adalah satu-satunya kitab suci yang menyatakan dirinya, bersih dari keraguan, dijamin keseluruhan isinya terjaga, dan tiada mungkin dibuat tandingannya. Barangkali sifat-sifat inilah yang membuat kalangan non-muslim, khususnya orientalis-missionaris Yahudi dan Kristen merasa gerah.
Tetapi tidaklah mengherankan, karena sejak Alquran diturunkan, sudah disinyalir bahwa orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela sampai umat Islam mengikuti keinginan dan keagamaan mereka. Selain itu, mereka ingin agar umat Islam melakukan apa yang mereka lakukan seperti menggugat, dan mempersoalkan yang sudah jelas dan mapan sehingga timbul keraguan terhadap yang benar dan sahih.
Dalam rangka memberi kesan seolah-olah obyektif dan otoritatif, orientalis-missionaris biasa berkedok sebagai pakar (expert scholar) mengenai bahasa, sejarah, agama. Dari buku-buku yang ditulis orientalis-missionaris, secara sembunyi maupun secara terbuka, mereka memang benci terhadap Alquran..
Alquran memang menjadi kajian utama dalam pembahasan orientalis. Kebanyakan dari mereka menganggap bahwa Alquran bukan kitab Ilahi. Alquran hanyalah buatan Muhammad. Dengan berbagai argumennya, kaum orientalis mencoba menyudutkan Alquran. Serangan dengan berbagai cara telah mereka tempuh, namun usaha mereka ternyata terbukti tidak terlalu efektif untuk meggungat keotentikan Alquran itu sendiri.
Alquran dipelihara secara langsung oleh Allah. Diantaranya melalui hafalan-hafalan yang dilakukan oleh kalangan muslim sendiri dan dari kalangan cendikiawan muslim.








DAFTAR PUSTAKA

Athaillah, A. Sejarah Alquran verifikasi Tentang Otentesitas Alquran. Banjarmasin: Antasari Press, 2007.
Fatoohi, Louay & al-Dargazelli, Shetha. Sejarah Bangsa Israel dalam Bibel dan Alquran:Sebuah Penelitian Islamic Archaeology. Bandung: Mizan Pustaka, 2008.
Jamal, Ahmad Muhammad. Membuka Tabir Upaya Orientalis dalam Memalsukan Islam. Bandung: CV. Diponegoro,1991.
Zuhdi, Akhmad. Pandangan Orientalis Barat Tentang Islam: Antara yang menghujat dan Memuji. Surabaya: PT. Karya Pembina Swajaya, 2004.
Al-‘Azami, M.M. Sejarah Teks Alquran: Dari Wahyu Sampai Kompilasinya. Versi Ebook. th.
Assamurai, Qosim. Bukti-bukti Kebohongon Orientalis. Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Armas, Adnin. Pengaruh Kristen-Orientalis terhadap Islam Liberal: Dialog interaktif dengan Aktifis Jaringan Islam Liberal.J akarta: Gema Insani, 2003.



[1] A. Athaillah, Sejarah Alquran verifikasi Tentang Otentesitas Alquran (Banjarmasin: Antasari Press, 2007), 11-13.
[2] A. Athaillah, Sejarah Alquran verifikasi Tentang Otentesitas Alquran, 18.
[3] Louay Fatoohi dan Shetha al-Dargazelli, Sejarah Bangsa Israel dalam Bibel dan Alquran:Sebuah Penelitian Islamic Archaeology, (Bandung: Mizan Pustaka, 2008), 82-84.
[4] A. Athaillah, Sejarah Alquran verifikasi Tentang Otentesitas Alquran, 39.
[5] A. Athaillah, Sejarah Alquran verifikasi Tentang Otentesitas Alquran, 86.
[6] Ahmad Muhammad Jamal, Membuka Tabir Upaya Orientalis dalam Memalsukan Islam (Bandung: CV. Diponegoro,1991), 80.
[7] Hysteria adalah penyakit gila, abnormal. Seseorang yang tidak dapat mengontrol emosinya sehingga dalam dunia terdapat keraguan-keraguan yang seolah ia bisa berbicara dengan makhluk lain, makhluk gaib, atau bahkan ia merasa dapat berbicara dengan malaikat.
[8]  A. Athaillah, Sejarah Alquran verifikasi Tentang Otentesitas Alquran, 94.
[9] Akhmad Zuhdi, Pandangan Orientalis Barat Tentang Islam: Antara yang menghujat dan Memuji (Surabaya: PT. Karya Pembina Swajaya, 2004), 63-68.
[10]  Ahmad Muhammad Jamal, Membuka Tabir Upaya Orientalis dalam Memalsukan Islam (Bandung: CV. Diponegoro,1991), 63.
[11] M.M Al-‘Azami, Sejarah Teks Alquran - Dari Wahyu Sampai Kompilasinya, Versi Ebook, th.
[12] Qosim Assamurai, Bukti-bukti Kebohongon Orientalis (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 83-89.
[13] Adnin Armas, Pengaruh Kristen-Orientalis terhadap Islam Liberal: Dialog interaktif dengan Aktifis Jaringan Islam Liberal, (Jakarta: Gema Insani, 2003), 62-63.
[14] Adnin Armas, Pengaruh Kristen-Orientalis terhadap Islam Liberal: Dialog interaktif dengan Aktifis Jaringan Islam Liberal, 61.

1 komentar: