PENDAHULUAN
Jauhsebelum Islam datang, bangsa
Arab dikenaldenganberanekaragamkebudayaannya.Baikkebudayaan yang
bersifatkeagamaanataupunkebudayaan yang bersifatsosial.Islam yang
dibawaolehRasulullah SAW tidakbegitusajamenghapuskankebudayaantersebutdenganwaktusekejap.
Ada proses dalammenghadapikebudayaanitu. Beberapakebudayaan Arab dihapusoleh
Islam danada pula yang diislamisasikan, sepertiperayaanhariraya.
Begitu pula yang terjadi di
Nusantara dankhususnya di Kalimantan.Sebelum Islam datang di Kalimantan selatan,
orang-orang banjarsudahmempunyaikebudayaantersendiri,
ada yang berasaldaribudayakaharingan,
budayadayakbahkanadajugaberasaldaribudayaberasaldari Hindu danBudha. Setelah
Islam datangdanmenjadi agama resmi di kerajaanBanjartepatnyapadamasa Sultan Surinsyah.Kebudayaan-kebudayaanitumasihsukaruntukdihilangkan.
Berapabanyakkahperayaan keagamaan di Kalimantan khususnya di
Kalimantan Selatan?Bagaimanajalannya
proses itu ?. Dan apakahitutidakbertentangandenganajaran Islam sendiri ?.
SemuapertanyaantersebutInsya
Allah akanterjawabdalammakalah yang singkatini. Dan
dalammenjabarkanpermasalahantersebutperlukitaanalisisdariberabagaipendekatan,Sehinggabukanhanyamampumenyebutkanperayaankeagamaan
di Kalimantan, kitajugamampuuntukmenganalisisnyalebihdalamlagi.
PEMBAHASAN
A. Model Islam di Kalimantan Selatan
Menurut data statistik tahun 2000, suku Banjar
adalah suku terbesar ke-10 di Indonesia dengan populasi hampir tiga setengah
juta orang (tepatnya 3,496 juta jiwa). Orang Banjar dapat ditemukan di berbagai
daerah di Indonesia, tetapi jumlah mereka terbanyak adalah di Kalimantan
Selatan (64,97%), Kalimantan Tengah (12,46) dan Kalimantan Timur (9,74%).
Berdasarkan data statistik ini adalah wajar jika orang menganggap Kalimantan
Selatan sebagai wilayah Orang Banjar. Suku Banjar juga dikenal sebagai sebagai
penganut agama Islam. Hal ini selaras dengan data statistik yang menyebutkan
bahwa 97,05% masyarakat Kalimantan Selatan beragama Islam.[1]
Orang-orang Banjar memang beragama Islam, dan berdasarkan
fakta yang terjadi, Islam sudah sejak lama menjadi ciri masyrakat Banjar.
Walaupun Islam sudah menjadi agama mayoritas di kalangan orang-orang Banjar
akan tetapi faktanya masih ada perayaan
keagamaan yang sangat sulit dicari referensinya dalam Islam sendiri.[2]
Suatu kelakuan religius memperjelas dan mengungkapkan
kepercayaan religi, berfungsi mengkomunikasikannya ke dunia luar dan merupakan
perwujudan dari usaha para warga komunitas untuk berkomunikasi dengan Tuhan
atau makhluk-makhluk halus yang menjadi isi kepercayaan. Di
sampingitukelakuan ritual
atauseremonialtertentuberfungsimeningkatkansolidaritasmasyarakat
pula.Dengandemikianberbagaikelakuanreligius yang
terungkapdalammasyarakatBanjardapatditelusurireferensinyaasalajaran Islam
ataudapatdikembalikankepadakepercayaan Islam, dan yang lain
dapatdicariasalusulnyadarikepercayaanasalkebudayaanlokal. Kali
inijugakitatidakdapatmemilahsecaraketat.
Pokok-pokokkewajiban
ritual Islam tergambardalamrukun Islam, yaitukewajibanshalat, puasa, zakat, haji danmengucapkankalimatsyahadat.Tetapiungkapanreligiusumat
di kawasaninimeliputi pula berbagaikelakuankolektif yang bersifat ritual,
seremonialataupengajaran: ibadahbersama di rumah-rumahibadah, perayaanmaulud,
perayaanmi’raj, berbagaiselamatan, berbagaikelakuan ritual bersangkutandengankelahiran,
perkawinandankematian, danberbagaibentukmengaji. Sedangkanwujudkelakuan ritual
yang
dapatdikembalikanpadakepercayaanasalkebudayaanlokalialahberbagaibentukupacarabersaji,
berbagaiupacaratahaphidupindividu, berbagaiupacaramandi, berbagaitabudankeharusan,
seringberkenaandenganpakaiandanperhiasan,
keharusanziarahketempat-tempattertentu, dantabumembawamakanantertentu di
dalamkendaraan. Namun di dalamkelakuantersebutsering kali terkandungunsur-unsur
yang dapatdikembalikankepadaajaran Islam.
Orang Banjarrelatiftaatmenjalankanagamanya.Shalatdilakukandenganteratur, meski pun
adakalanyatidaktepatwaktu. Meski pun jelasadasaja orang yang
tidakberpuasadalambulanRamadlan, khususnya di kota-kota, tetapi yang
jelastidakada orang yang secaraterbukamemperlihatkaniatidakberpuasa,
dananak-anakseringdiperingatkan agar tidak “mengganggu” orang yang
berpuasadengancaramemakansesuatu di hadapannya.Zakat
jugaditunaikandenganteratur, di sinikhususnya zakat fitrah, zakat padidan zakat
barang-barang yang diperniagakan.Kegairahanuntukmenunaikanibadah haji di
kawasaninimungkin yang terbesar di Indonesia.Dan adasaat-saattertentu
orang-orang melakukanibadahsunat, shalatsunat,
puasasunat dan sedekahsunat.
Segala ibadah dan doa memang ditujukan kepada Allah dan
tidak dapat ditujukan kepada makhlukNya tidak ada yang dapat mengabulkan doa
kecuali Allah. Namunbagi orang Banjardoa yang diucapkan orang
salehdianggapmakbuldanrestu yang diberikannyadenganmelakukanshalathajatsangatbermanfaat.[3]
Seperti itulah gambaran singkat model Islam di Kalimantan
Selatan. Berawal dari model Islam inilah sehingga menimbulkan perayaan
keagamaan-keagamaan yang mungkin hanya terdapat di daerah Banjar saja.
B.
Pandangan Islam Terhadap
Budaya Lokal dan Perayaan Keagamaan Pra-Islam di Banjar
Hal yang terkait antara Islam dan budaya adalah
ritual-ritual keagamaan yang berasal dari kepercayaan dan upacara keagamaan
pra-Islam. Ketika Islam masuk dalam suatu masyarakat, mereka biasanya telah
memiliki kepercayaan dan upacara keagamaan tertentu. Maka terjadilah interaksi
antara agama yang lama dan yang baru. Dalam konteks ini ada beberapa
kemungkinan terjadi:
·
Islam mengahapus secara
perlahan hingga tuntas kepercayaan dan upacara keagamaan yang ada.
·
Masyarakat terbelah
menjadi dua kelompok, satu kelompok menerima Islam, sementara kelompok yang
lainnya bertahan dengan kepercayaan dan upacara keagamaan lama.
·
Islam masuk ke dalam suatu
upacara keagamaan dengan cara mengganti kepercayaan dan kegiatannya sehingga
sesuai dengan kepercayaan dan ritual Islam.
·
Upacara keagamaan itu
dilaksanakan sekedar melestarikan tradisi nenek moyang dalam rangka kepentingan
pariwisata, sementara unsur-unsur kepercayaan yang mendasarinya sudah lagi
dipercayai masyarakat.
Pada dasarnya semua aliran dalam Islam percaya bahwa
ajaran-ajaran Islam harus menjadi acuan bagi kebudayaan masyarakat. Apapun yang
dianggap bertentangan dengan Islam, sebisa mungkin diusahakan agar menjadi
sejalan dengan Islam atau yang sering kali disebut dengan proses Islamisasi.
Tetapi ketika pandangan ini diterapkan secara praktis dalam menghadapi
kebudayaan keagamaan pra-Islam, paling kurang muncul dua sikap yang bertolak
belakang. Pertama, ada kalangan yang berpendapat bahwa apapun bentuk ritual
yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW, maka semua itu adalah
bid’ah dan harus ditolak. Apalagi pada mulanya ritual itu berdasarkan kepada
kepercayaan yang mengandung syirik. Pendapat Kedua, ada pula kalangan yang
berpendapat bahwa ritual itu dapat diislamisasikan dengan diisi kegiatan dan
kepercayaan yang sesuai dengan Islam. Dengan berpegang kepada pendapat yang
kedua ini, Islam akan lebih mudah menyatu dalam kebudayaan setempat. Pendapat
pertama disebut sebagai gerakan pemurnian, karena sikap mereka yang berusaha
membersihkan apapun yang dianggap bukan berasal dari ajaran Islam. Sedangkan
pendapat kedua disebut gerakan tradisional karena sikap mereka yang menerima
tradisi, budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi. Perlu dicatat, baik
kalangan pemurnian ataupun kalangan tradisional, sama-sama mendasarkan pendapat
mereka pada Alqur’an dan Hadis.[4]
Resistensi kepercayaan dan praktek-praktek keagamaan
pra-Islam di Kalimantan Selatan mendapat tantangan dari kalangan Islam
skripturalis. Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (1122-1227 H/ 1710-1812 M) salah
seorang ulama besar Indonesia asal Kalimantan Selatan sendiri menulis kitab khusus berjudul Tuhfat al-Raghibin. Selain
menjelaskan tentang prinsip keimanan dan ketauhidan dalam Islam, kitab itu
sekaligus juga mengecam kepercayaan dan praktek-praktek lokal yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Termasuk
di antara ysng disebutkan al-Banjari sebagai bertentangan dengan Islam adalah
praktek “menyanggar”, persisnya “membuat ancak, meberi makanan (sesajian kepada
datu-datu ghaib dan sebagainya yang lazim dilakukan sebagian umat Islam di
sekitar daerah Kalimantan.[5]
Menurut Syekh Arsyad, apabila upacara-upacara seperti
menyanggar dan membuang pasilih itu dilakukan, maka hukumnya adalah sebagai
berikut:
a)
Bila diyakini, bahwa tidak
tertolak bahaya kecuali melalui kedua upacara itu, maka hukumnya kafir.
b)
Bila diyakini, bahwa
tertolaknya bahaya adalah disebabkan karena kekuatan yang diciptakan Allah pada
kedua upacara itu, maka hukumnya bid’ah lagi fasik tetapi tetap kafir.
c)
Bila diyakini bahwa kedua
upacara itu tidak memberi bekas dengan kekuasaan yang ada padanya atau kekuatan
yang dijadikan Tuhan padanya tetapi Allah menolak bahaya itu dengan memberlakukan
hukum kebiasaan dengan kedua upacara itu, tetapi hukumnya tidak kafir, tetapi
bid’ah saja. Namun apabila diyakini kedua upacara itu halal atau tidak terlarang
maka hukumnya kafir.
Upacara menyanggar dan membuang pasilih hanyalah sebagai
contoh yang disebutkan Syekh Arsyad dari sekian banyak upacara-upacara atau
perayaan keagamaan pra-Islam.[6]
C.
Perayaan Keagamaan di
Kalimantan Selatan
Perayaan keagamaan banyak sekali jenisnya di Kalimantasn
Selatan. Sehingga untuk memudahkan untuk membahasnya, maka harus kita
klasifikasikan dulu berdasarkan waktunya.
Pertama perayaan keagamaan berdasarkanhari-hari besar Islam yang resmi.
Kedua Perayaan keagamaan berdasarkan hari-hari besar Islam tidak resmi.
Yang dimaksud dengan hari-hari besar Islam resmi adalah
peringatan yang dirayakan oleh umat seluruh umat muslim seperti Kelahiran
Nabi, Perayaan Isro Mi’raj, dua hari raya dan peringatan turunnya Alqur’an. Sedangkan
yang dimaksud dengan hari-hari besar Islam yang tidak resmi adalah hari-hari
besar yang diperingatidi daerah Banjar saja seperti hari asura, arba
mustamir, nisfu sya’ban, malam lailatul qadar dan memulai tahun kamariyah.[7]
a.
Perayaan Keagamaan
Berdasarkan Hari-hari besar Islam Resmi
1.
Kelahiran Nabi
·
Maulid di Tinjau dari
Sejarah
Pendapat Pertama
Menurut As-Syaikh Al-Sakhowi, al-Maqrizi Al-Syafi'i (854
H) (seorang ahli sejarah islam) dalam bukunya "Al-Khutath" menjelaskan
bahwa maulid Nabi mulai diperingati pada abad IV Hijriyah oleh Dinasti
Fathimiyyah di Mesir. Dinasti Fathimiyyah mulai menguasai Mesir pada tahun 358
H dengan rajanya Al-Muiz Lidinillah, Namun sebenarnya menurutNico Kaptein
peneliti sejarah kebudayaan Islam dari Leiden University sumber asli yang
menyebutkan tentang Maulid Nabi pada zaman tersebut sudah hilang.
Konsekuensinya, perayaan Maulid pada zaman Fathimiyyah hanya diketahui secara
tidak langsung dari beberapa sumber sejarawan yang hidup belakangan seperti
Al-Maqrizi yang hanya melacak dari kitab yang telah hilang dari ulama zaman
Fathimiyyah yaitu Ibnu Ma’mun dan Ibnu Tuwayr.
Ibnu Al-Ma’mun:Kitab Sejarah yang paling awal menyebutkan tentang maulid
di zaman Fathimiyyah adalah kitab karangan Ibn Al-Ma’mun. Sebenarnya kitab ini
sudah hilang tetapi ada beberapa penulis yang menggunakan sumber dari hasil
karya beliau di antaranya adalah Ibn Zafir (Wafat 613/1216) Kedua Ibn Muyassar
(677/1277), ketiga Ibn Abd Al Zahir(w 692/1292). Tetapi yang paling banyak
menggunakan sumber dokumentasi sejarah Ibn Ma’mun adalah sejarawan Al-Maqrizi
Al-Syafi'i.
Dalam beberapa bagian dalam kitab Khutat, Ibn
Al-Ma’mun adalah salah satu sumber yang paling penting tentang deskripsi acara
acara yang dilakukan oleh Dinasti Fathimiyyah seperti perayaan hari besar,
festival, upacara dan lain sebagainya. Karena Ibn
Al-Ma’mun adalah saksi hidup sebagai anak dari seorang wazir yang biasa
menyelenggarakan banyak kegiatan perayaan dan seremonial kerajaan. Maulid di
kenal kala itu dengan kata “Qala”. Ibn Al-Ma’mun berkata : sejak Afdhal
Syahinsyah ibn Amirul Juyusy Badr al-Jamali menjadi wazir dia menghapus empat
perayaan maulid yaitu maulid Nabi, Ali, Fatimah, dan imam yang saat itu
memerintah. Sampai dia wafat tahun 515H barulah perayaan Maulid Nabi
diselenggarakan lagi seperti dahulu oleh khalifah Al-Amir dan itu diteruskan
sampai sekarang.
Ibn Al-Tuwayr: Sumber kedua dari informasi perayaan Maulid pada zaman
Fatimiyah adalah Ibn Al-Tuwayr. Penulis yang banyak menggunakan tulisan
dia sebagai sumber sejarah adalah di antaranya adalah Ibn Al-Furat (807H), Ibn
Khaldun (808H), Ibn Duqmaq (809H), Al-Qashashandi (821H), Al-Maqrazi (845H),
Ibn Hajar Al-Asqalani (874H), Penulis-penulis tersebut menggunakan sumber
informasi Ibn Tuwayr untuk mengkaji peristiwa-peristiwa yang terjadi pada era
Dinasti Fathimiyyah. Beberapa peristiwa sejarah penting tentang sebuah perayaan
terdapat di dalam dokumennya yang disebut mukhlaqat yang kemudian
dicatat oleh para sejarawan selanjutnya seperti Al-Maqrizi yang kitab nya bisa
kita baca pada zaman sekarang.
Ibn Al-Tuwayr berkata, perayaan Maulid saat dinasti
Fathimiyyah itu ada enam perayaan dan di antaranya adalah perayaan Maulid Nabi,
Ali Bin Abi Thalib, Fatimah, Hasan, Husein, dan Khalifah yang saat itu
memerintah. Ketika 12 Rabiul Awal datang, di beberapa tempat diadakan acara
besar seperti membaca Al-Qur’an, pengajian di beberapa masjid dan mushola, dan
beberapa majelis juga ikut untuk merayakannya.
Pendapat Kedua
Sedangkan Ibnu Katsir dalam kitab tarikhnya bidayah wa
nihayah, diikuti oleh Alhafiz Imam Suyuthi dalam Husn Al-MaqsidFi 'Amal
al-Maulid juga pendapat yang dikuatkan oleh Prof Dr Sayyid Muhammad Alwi Al
maliki dalam kitabnya Haula al Ihtifal bil Maulidi Nabawy As Syarif,
menurut mereka yang pertama kali mengadakan Maulid Nabi adalah seorang Raja
Irbil (Saat itu gubernur terkadang di sebut malik atau amir).
Irbil saat itu adalah propinsi masuk dalam Dinasti
Ayyubiyyah. Irbil saat ini masuk dalam wilayah Kurdistan Iraq) yang dikenal
keshalehannya dan kebaikannya dalam sejarah Islam yaitu Malik Muzhaffaruddin
Abu Said Kukburi ibn Zainuddin Ali Ibn Tubaktakin pada tahun 630 H. Beliau
adalah seorang pembesar dinasti Ayyubiyah yang kemudian dia mendapatkan mandat
untuk memerintah Irbil pada tahun 586 H.
Sekalipun dalam dua pendapat ini menyatakan bahwa
perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW mulai dilakukan pada
permulaan abad ke 4 H dan tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, para sahabat
dan generasi Salaf.Namun walaupundemikian tidak berarti
hukum perayaan Maulid Nabi dilarang atau sesuatu yang haram. Karena segala
sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW atau tidak pernah
dilakukan oleh para sahabatnya belum tentu bertentangan dengan ajaran
Rasulullah sendiri sebagaimana yang akan kami terangkan secara detail nanti
pada bab hukum merayakan Maulid Nabi.[8]
·
Peringatan Maulid di
Kalimantan Selatan
Nabi Muhammad SAW lahir pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal.
Kegiatan merayakan atau memperingati kelahiran Nabi tersebut di kalangan
masyarakat Banjar dinamakan Bamulud, berasal dari kata bahasa arab
“mawlud” berarti kelahiran. Sepanjang bulan tersebut selalu ada terdengar
bacaan bamulud di kawasan Kalimantan Selatan.
Di martapura dan sekitarnya, memperingati hari lahir Nabi
merupakan kegiatan langgar, mesjid dan
sekolah-sekolah. Mesjid yang terkemuka biasanya melaksanakannya pada tanggal 12
rabi’ul awwal. Tetapi kalau Mesjid atau langgar yang biasa-biasa saja biasanya
melaksanakannya tidak harus tanggal 12. Selain diisi dengan pembacaan maulid,
acara ini biasanya juga disisipkan ceramah agama sekitar kelahiran Nabi dan
acara tambahan berupa pembacaan ayat-ayat suci Alqur’an, sambutan-sambutan, doa
dan yang terakhir adalah menikmati hidangan yang disediakan oleh tuan rumah.
Dahulu syair maulid yang dibaca adalah Mawlid Barzanji(Sayyid
Ja’far Al Barzanji), Mawlid Syaraf al anam atau Mawlid al Daiba’(Imam Wajihuddin
'Abdur Rahman bin Muhammad ). Belakangan ini yang paling sering dibaca
ketika perayaan maulid adalah syair Mawlid al Habsyi (Al-Habib Al-Imam
Al-Allamah Ali bin Muhammad bin Husin Al-Habsyi) yang dipopulerkan oleh seorang ulama karismatik
yang bernama K.H. Zaini Abdul Ghani.Mawlid al Habsyi ini untuk bisa
memahirkan dan mengamalkannya diperlukan Ijazah[9].[10]
Dalam dua dekade terakhir, Mawlid al Habsyiyang
dipopulerkan oleh tuan guru besar K.H. Zaini Abdul Ghanisangatpopuler
di Kalimantan Selatan. Dalam kaitannya dalam
kajian tasawwuf, dapat diteliti bagaimana hubungan ‘amalan Mawlid al Habsyi’
dengan ajaran tasawwuf yang dikembangkan oleh beliau. Hal ini dapat kita
lihat dari sudut metode suluk ataupun dari sudut ajaran. Tarekat
Sammaniyah yang berkembang di Kalimantan Selatan sejak masa Muhammad Nafis
al-Banjari, memberikan perhatian yang cukup tinggi pada shalawat ketimbang
dzikir untuk sampai kepada Tuhan. Nah benarkah pandangan ini jika lihat dari
keberadaan Mawlid al Habsyiyang bukan saja dibaca pada bulan maulid tapi
juga dijadikan sebagai amalan rutin.[11]
2.
PerayaanMi’raj
Setiap bulan ketujuh dari bulan Arab yaitu Rajab tepatnya
pada tanggal 27, orang-orang banjar melakukan perayaan keagamaan yang dinamai
dengan bami’rat. Sebuah perayaan keagamaan untuk memperingati peristiwa
Nabi Muhammad SAW naik ke langit menghadap Tuhan. Perayaan ini tidak mesti
dilakukan pada tanggal 27, tetapi boleh saja dilakukan diluar tanggal 27
asalkan tetap pada suasana Rajab. Bami’raj biasanya merupakan kegiatan
langgar atau mesjid, sekolah-sekolah, perkumpulan-perkumpulan dan kadang-kadang
kegiatan kampung, dan jarang sekali kegiatan rumah tangga.
Di Martapura acaranya diisi dengan acara ceramah sekitar
peristiwa mi’raj, doa dan makan bersama, dan kadang-kadang ditambah dengan
acara membaca ayat-ayat suci Alqur’an. Kalau disekolah-sekolah ditambah lagi
dengan acara sambutan-sambutan. Selain itu biasanya ketika perayaan mi’raj ini
ditambah lagi dengan acara pembacaan kitab Dardir, sebuah kitab berisi
kisah Nabi mi’raj dan doa haul jamak. [12]
3.
Hari Raya Puasa dan Haji
Menjelang akhir Ramadhan dan tanggal 10 dzulhijjah
biasanya kaum wanita disibukan dengan kegiatan menyiapkan berbagai penganan
untuk keperluan lebaran. Manisan, tapai ketan dan kue putu termasuk kue yang selalu ada setiap dua
hari raya ini datang. Lapat dan lemang biasanya makanan yang yang taidak pernah
absen saat lebaran datang. Lebih-lebih lagi daerah Martapura, Makanan ini di
ibaratkan wajib ada setiap lebaran. Pada malam hari raya, makanan dan kue ini
mereka antar ketetangga terdekat dan keluarga sambil silaturahmi dengan makna
saling memaafkan.[13]
Pada saat pagi hari datang, orang-orang pergi kemesjid
untuk melaksanakan Shalat Id. Setelah selesai shalat Id para jama’ah biasanya bersalaman-salaman
dulu sebagai tanda ucapan selamat hari raya. Sebagian mereka ada yang tidak
langsung pulang kerumah tetapi ada yang pergi kekubur-kubur keluarga dulu atau
kubur tokoh ulama setempat.
Pada hari raya puasa, saat malam hari rayanya orang-orang
melaksanakan zakat fitrah, sebagian orang-orang membayar zakat fitrah ini
dengan guru ngaji mereka, namun ada juga yang membayar zakat fitrah ini dengan
orang-orang yang dikategorikan fakir miskin. Selain disibukan dengan membayar
zakat, pada malam hari raya puasa ini orang-orang juga disibukan dengan
takbiran.
Tak jauh beda dengan hari raya puasa, orang-orang juga
disibukan dengan acara yang sama saat malam hari raya haji terkecuali dengan
membayar zakat.Keggiatanhariraya haji jatuhpadatanggal 10 dzulhijjahdantigaharisesudahnya.
Jikapadaharirayapuasaterdapat zakat fitrah, sedangkanpadahariraya haji
adapenyembelihanhewanqurban yang dilaksanakanpada sore
hariatauhari-hariberikutnyasampaihariketiga. Hewan yang biasa
dijadikan qurban biasanya sapi, kambing atau domba dan jarang sekali kerbau.
Hewan-hewan in merupakan korban warga-warga
tertentu dalam masyarakat, kambing atau domba untuk seorang warga, sedangkan
sapi dan kerbau untuk tujuh orang.[14]
4.
Peringatan Turunnya
Alqu’an
Alqur’an dipercayai diturunkan pada tanggal 17 Ramadhan,
dan sekitar itulah biasanya dilakukan kegiatan merayakannya. Mesjid Martapura
biasanya melakukan perayaan ini tepat pada tanggal 17 Ramadhan, yang diisi
dengan ceramah, pembacaan ayat-ayat suci Alqur’an, sambutan bupati, dan acara hiburan
berupa pembacaan maulud habsyi oleh kelompok pembaca terbaik di
Martapura sendiri.[15]
b.
Perayaan Keagamaan
Berdasarkan Hari-hari besar Islam Tidak Resmi
Perayaan Keagamaan Berdasarkan Hari-hari besar Islam
Tidak Resmi adalah perayaan keagamaan yang mungkin hanya didapati di Kalimantan
Selatan saja.
1.
Hari Asyura
Perayaan Asura ini dilaksanakan pada bulan Muharram,
bulan pertama dalam kalender kamariyah, tepatnya pada tanggal 10 Muharram. Pada
tanggal 10 tersebut orang-orang disibukan dengan membuat bubur asura. Sebelumnya
dilakukan dulu acara sumbangan untuk mengumpulkan dana pembuatan bubur asura.
Kegiatan pembuatan bubur asura ini dilakukan pihak ibu-ibu. Apabila sudah
masak, maka kaum laki-laki dikampung itu besaruan. Setelah terkumpul
maka bubur itu dihidangkan dan dibacakan doa selamat oleh orang alim, dan acara
pun selesai.
Bubur Asura itu terbuat dari beras yang dimasak
dengan santan dan dicampur dengan segala macam sayur-sayuran. Pembuatan bubur
ini konon merupakan kenangan terhadap suatu peristiwa pada zaman dahulu, ketika
dalam suasana terkepung dan kekurangan makanan, dikumpulkan segala macam
tumbuh-tumbuhan yang tumbuh disekitarnya dan dicampur dengan persedian bahan
makanan yang ada menjadi bubur yang bisa dimakan. Ini adalah kisah dari
Sayyidina Hasan dan Husin yang menimpa mereka beserta rombongan di karbala.[16]
Sehingga orang Banjar mengambil hikmah dari kisah tersebut dengan meniru-niru
kegiatan mereka.
2.
Arba Musta’mir
Konon dalam bulan Safar banyak terjadi malapetaka,
seperti banjir, kebakaran, wabah penyakit dan kecelakaan. Bulan ini juga
dianggap sebagai bulan panas yang ditandai dengan banyaknya kebakaran dan
mewabahnya penyakit bahkan juga biasa ditandai dengan pertikaian kecil menjadi
pertumpahan darah yang besar. Juga bulan ini merupakan kesempatan untuk
keluarga-keluarga luas tertentu untuk mengeluarkan racun untuk “memakan” darah
manusia agar dengan demikian bencana racun tidak menimpa salah seorang anggota
kerabat dekatnya selama tahun berjalan. Selamatan dan berbagai tindakan
religius lain dalam bulan ini bertujuan agar keselamatan diri dan keluarga
tetap terjamin dan secara umum menjamin keselamatan warga selingkungan dan
mendinginkan suasana panas bulan. Berbagai tindakan religius itu adalah seperti
menggantungkan wafak dan halinjuang, membuat air safar (banyu safar).
Pohon halinjuang adalah sejenis pohon yang sering ditanam orang di atas
kuburan. Wafak daun halinjuang ini dimintakan kepada seorang ulama untuk membacakan
doa selamat.
Apabila gejala panas bulan safar meningkat, ini diketahui
dengan berbagai macam peristiwa yang dianggap malapetaka seperti bencana alam,
kebakaran alam, wabah penyakit dan peristiwa perkelahian maka biasanya salah
satu cara untuk mendinginkannya adalah dengan cara membacakan Qosidah Burdah
berulang-ulang. Yang dapat dilakukan secara berjamaah atau sendiri-sendiri.[17]
3.
Pertengahan Sya’ban (Nisfu
Sya’ban)
Sya’ban adalah
bulan kedelapan dari tarikh arab, biasa dinamakan orang-orang Banjar dengan
bulan nisfu. Pelaksanaan nisfu Sya’ban ini tepat dilaksanakan pada tanggal 15
Sya’ban. Kegiatan ini diikuti oleh laki-laki dan wanita, anak-anak yang sudah
agak besar pun diikutsertakan pula. Mula-mula kegiatan ini dilaksanakan
sembahyang magrib berjamaah dimesjid atau dilanggar yang kemudian diteruskan
dengan pembacaan surah Yasîn bersama tiga kali secara berturut-turut. Setiap
kali membaca, tokoh yang memimpin acara memperingatkan tiga buah niat membaca
yasîn yaitu, yang pertama dengan niat mohon panjangkan umur dalam keadaan taat,
yang kedua dengan niat memohon rezeki yang banyak dan halal, dan niat yang
ketiga adalah memohon ditetapkan iman sampai akhir hayat. Setelah selesai
membaca yasin tiga kali dilanjutkan dengan pembacaan doa khusus yang isinya
menegaskan niat-niat tersebut. Setelah shalat Isya, amaliyah dimesjid atau
dilanggar dilanjutkan lagi acara shalat tasbih secara berjamaah. Dan pada siang
harinya masyarakat banjar melaksanakan puasa nisfu sya’ban.[18]
4.
Malam Lailatul Qadar
Pada malam-malam sepuluh terakhir dari bulan puasa, orang
menyalakan lampu di halaman rumahatau ditepi jalan dihadapan rumah
masing-masing. Namun kegiatan ini sudah
semakain hilang karena adanya listrik yang masuk didaerah-daerah.
Malam lailatul qadar adalah malam yang digambarkan
sebagai malam yang penuh berkah yang berasal dari Allah SWT, bagi sebagian
besar orang, tibanya malam lailatul qadartidak bisa ditentukan waktunya, tetapi
bagi sebagian besar yang lain malam lailatul qadar ini dapat diketahui mereka
dengan berdasarkan hari dimulainya Ramadhan. Mereka yang mengetahui kapan
datangnya malam lailatul qadar ini mengutip pendapatnya Imam Al-Gazali. Lailatul
qadar datang Pada malam 21 (bila puasa dimulai hari Senin), malam ke-23 (bila
puasa dimulai pada hari Sabtu), pada malam ke-25 (bila puasa dimulai pada hari
Kamis), malam ke-27 (bila puasa dimulai pada hari Selasa dan Jum’at), pada
malam ke-29 (bila puasa dimulai pada hari Minggu dan Rabu).
Cerita tentang malam lailatul qadar yang beredar dalam
masyarakat ialah nukilan dari kisah riwayat hidup Syekh Arsyad. Orang tua Syekh
Arsyad yang menemui malam tersebut memohon agar diberi anak yang alim. Dan
Syekh Arsyad yang juga menemukan malam lailatul qadar itu juga berdoa agar
diberikan keturunan yang alim sebanyak tujuh turun-temurun.
Perayaan malam lailatul qadar ini bersifat pribadi.
Biasanya pada waktu tengah malam tepatnya pada malam-malam yang ganjil pada
sepuluh hari terakhir, orang-orang pergi kemesjid atau kelanggar untuk
melaksanakan amal-amalan. Seperti shalat tahajud, shalat hajat, shalat tasbih.
Serta ditambah dengan berdzikir dan membaca Alqur’an. [19]
5.
Malam Tahun Kamariyah
Tahun baru Hijriyah disambutdengan acara perayaan pembacaan doa selamat dengan
berbagai cara. Selamatan ini dinamakan dengan selamatan hidup tahun dan
biasanya dilakukan pada tanggal satu atau pada saat minggu-minggu pertama dari
bulan Muharram dilaksanakan pada pagi hari. Hidangannya terbuat dari bubur
habang dan bubur putih dan doa yang dibaca adalah shalawat munjiyat. Yang diundang
adalah sejumlah tetangga dan orang-orang tertentu. Tujuan selamatan ini adalah
agar selamat selama setahun mendatang. Ini adalah perayaan yang dilkukan oleh
warga sekitar Dalam pagar.
Namun dibeberapa daerah perayaan malam tahun kamariyah
ini tidak dibacakan shalawat munjiyat, tetapi diganti dengan pembacaan
surah-surah pendek dalam Alqur’an seperti surah Al-ikhlas, Al-falaq, An-Nas.
Dan dibacakan doa selamat atau tolak bala.[20]
Perayaan malam tahu baru kamariyah ini berbeda lagi dengan
perayaan dikampung halaman penulis. Pada saat malam tahun baru itu datang,
orang-orang sibuk menghiasi mobil-mobil Pick up untuk melaksanakan pawai
keliling kampung. Pawai ini diisi dengan acara pembacaan shalawat burdah dan
diakhiri dengan pembacaan doa selamat dimesjid kampung.
PENUTUP
Telah kita ketahui bersama bahwa perayaan keagamaan di
Kalimantan Selatan sungguh sangatlah banyak, baik perayaan keagamaan yang sudah
berkembang pra-Islam seperti menyanggar dan membuang pasilih maupun perayaan
keagamaan dalam Islam sendiri. Perayaan ini berkembang luas saat Islam belum
berkembang di Kalimantan Selatan. Bukan hanya terbatas dua perayaan itu saja,
banyak sekali perayaan keagamaan pra-Islam namun yang penulis sebutkan hanya
menyanggar dan membuang pasilih.
Islam datang saat kebudayaan di Kalimantan sudah
bercampur dengan animisme dan dinamisme. Di kalimatan Selatan perayaan
keagamaan yang berbau seperti itu ada yang dihapuskan dan ada yang di
Islamisasikan. Memang memerlukan waktu untuk proses itu, karena memang sudah
diketahui bahwa masyarakat Banjar ini adalah masyarakat yang fanatisme,
sehingga dalam proses menghapuskan dan menghilangkan perayaan keagamaan
pra-Islam memerlukan waktu yang relatif lama.
Perayaan keagamaan dalam Islam juga sangat banyak di
Kalimantan, namun ternyata semua perayaan itu tidaklah bertentangan dengan
ajaran yang utama, yaitu Alqur’an dan Hadis. Beberapa perayaan itu seperti,
pembacaan maulid, peringatan isro mi’raj, peringatan nuzulul qur’an, perayaan dua
hari raya, nisfu sya’ban, arba musta’mir, perayaan malam tahun baru kamariyah,
dan lain sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi.“Interaksi dan Akomodasi Islam dengan Budaya Melayu
Kalimantan”, dalam Aswab Mahasin (ed.), Ruh
Islam dalam Budaya Bangsa Aneka Budaya Nusantara. Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, 1996.
Daud, Alfani. Islam dan Masyarakat Banjar: Diskripsi dan Analisa
Kebudayaan Banjar. Jakarta: PT
RajaGrapindo Persada, 1997.
Ideham,Suriansyah. Urang Banjar dan Kebudayaannya. Banjarmasin: Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Propinsi Kalimantan
Selatan, 2005.
Mujiburrahman. Mengindonesiakan Islam Representasi dan
Ideologi.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Zainuddin,Hasan.“Kehidupan Islam Kalsel”,http:
hasanzainuddin.wordpress.com, (diakses pada tanggal 3 mei 2012).
[1] Mujiburrahman, Mengindonesiakan Islam Representasi dan Ideologi (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008), 386.
[2] Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar: Diskripsi dan Analisa
Kebudayaan Banjar (Jakarta: PT
RajaGrapindo Persada, 1997), 5.
[3] Hasan Zainuddin, “ Kehidupan Islam Kalsel”, http:
hasanzainuddin.wordpress.com, (diakses pada tanggal 3 mei 2012).
[4] Wajidi, Akluturasi Budaya Banjar di Banua Halat (Yogyakarta, Pustaka
Book Publisher, 2011), xix-xx.
[5] Azyumardi Azra, “Interaksi dan Akomodasi Islam dengan Budaya Melayu
Kalimantan”, dalam Aswab Mahasin (ed.), Ruh
Islam dalam Budaya Bangsa Aneka Budaya Nusantara (Jakarta: Yayasan Festival
Istiqlal, 1996), 191.
[6] Suriansyah Ideham, Urang Banjar dan Kebudayaannya (Banjarmasin:
Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Propinsi Kalimantan Selatan, 2005),
45-46.
[7] Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar: Diskripsi dan Analisa
Kebudayaan Banjar, 318.
[9] Ijazah adalah pernyataan izin
mengamalkannya yang sambung menyambung melalui guru-guru yang berijazah pula
sejak dari pengarangnya.
[10] Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar: Diskripsi dan Analisa
Kebudayaan Banjar, 319-323.
[11]Mujiburrahman, Mengindonesiakan Islam Representasi dan Ideologi, 100.
[12] Alfani Daud, Islam dan
Masyarakat Banjar: Diskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, 324.
[13] Alfani Daud, Islam dan
Masyarakat Banjar: Diskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, 325.
[14] Alfani Daud, Islam dan
Masyarakat Banjar: Diskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, 325-328.
[15] Alfani Daud, Islam dan
Masyarakat Banjar: Diskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, 328.
[16] Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar: Diskripsi dan Analisa
Kebudayaan Banjar, 329-330.
[17]Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar: Diskripsi dan Analisa
Kebudayaan Banjar, 330-334.
[18] Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar: Diskripsi dan Analisa
Kebudayaan Banjar, 334-336.
[19] Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar: Diskripsi dan Analisa
Kebudayaan Banjar, 336-338.
[20]Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar: Diskripsi dan Analisa
Kebudayaan Banjar, 338-339.