Rabu, 12 September 2012

Peraaan keagamaan di Kalimantan Selatan

PENDAHULUAN

Jauhsebelum Islam datang, bangsa Arab dikenaldenganberanekaragamkebudayaannya.Baikkebudayaan yang bersifatkeagamaanataupunkebudayaan yang bersifatsosial.Islam yang dibawaolehRasulullah SAW tidakbegitusajamenghapuskankebudayaantersebutdenganwaktusekejap. Ada proses dalammenghadapikebudayaanitu. Beberapakebudayaan Arab dihapusoleh Islam danada pula yang diislamisasikan, sepertiperayaanhariraya.
Begitu pula yang terjadi di Nusantara dankhususnya di Kalimantan.Sebelum Islam datang di Kalimantan selatan, orang-orang banjarsudahmempunyaikebudayaantersendiri, ada yang berasaldaribudayakaharingan, budayadayakbahkanadajugaberasaldaribudayaberasaldari Hindu danBudha. Setelah Islam datangdanmenjadi agama resmi di kerajaanBanjartepatnyapadamasa Sultan Surinsyah.Kebudayaan-kebudayaanitumasihsukaruntukdihilangkan.
            Berapabanyakkahperayaan keagamaan di Kalimantan khususnya di Kalimantan Selatan?Bagaimanajalannya proses itu ?. Dan apakahitutidakbertentangandenganajaran Islam sendiri ?.
            SemuapertanyaantersebutInsya Allah akanterjawabdalammakalah yang singkatini. Dan dalammenjabarkanpermasalahantersebutperlukitaanalisisdariberabagaipendekatan,Sehinggabukanhanyamampumenyebutkanperayaankeagamaan di Kalimantan, kitajugamampuuntukmenganalisisnyalebihdalamlagi.





PEMBAHASAN

A.     Model Islam di Kalimantan Selatan
Menurut data statistik tahun 2000, suku Banjar adalah suku terbesar ke-10 di Indonesia dengan populasi hampir tiga setengah juta orang (tepatnya 3,496 juta jiwa). Orang Banjar dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia, tetapi jumlah mereka terbanyak adalah di Kalimantan Selatan (64,97%), Kalimantan Tengah (12,46) dan Kalimantan Timur (9,74%). Berdasarkan data statistik ini adalah wajar jika orang menganggap Kalimantan Selatan sebagai wilayah Orang Banjar. Suku Banjar juga dikenal sebagai sebagai penganut agama Islam. Hal ini selaras dengan data statistik yang menyebutkan bahwa 97,05% masyarakat Kalimantan Selatan beragama Islam.[1]
Orang-orang Banjar memang beragama Islam, dan berdasarkan fakta yang terjadi, Islam sudah sejak lama menjadi ciri masyrakat Banjar. Walaupun Islam sudah menjadi agama mayoritas di kalangan orang-orang Banjar akan tetapi faktanya masih ada  perayaan keagamaan yang sangat sulit dicari referensinya dalam Islam sendiri.[2]
Suatu kelakuan religius memperjelas dan mengungkapkan kepercayaan religi, berfungsi mengkomunikasikannya ke dunia luar dan merupakan perwujudan dari usaha para warga komunitas untuk berkomunikasi dengan Tuhan atau makhluk-makhluk halus yang menjadi isi kepercayaan. Di sampingitukelakuan ritual atauseremonialtertentuberfungsimeningkatkansolidaritasmasyarakat pula.Dengandemikianberbagaikelakuanreligius yang terungkapdalammasyarakatBanjardapatditelusurireferensinyaasalajaran Islam ataudapatdikembalikankepadakepercayaan Islam, dan yang lain dapatdicariasalusulnyadarikepercayaanasalkebudayaanlokal. Kali inijugakitatidakdapatmemilahsecaraketat.
Pokok-pokokkewajiban ritual Islam tergambardalamrukun Islam, yaitukewajibanshalat, puasa, zakat, haji danmengucapkankalimatsyahadat.Tetapiungkapanreligiusumat di kawasaninimeliputi pula berbagaikelakuankolektif yang bersifat ritual, seremonialataupengajaran: ibadahbersama di rumah-rumahibadah, perayaanmaulud, perayaanmi’raj, berbagaiselamatan, berbagaikelakuan ritual bersangkutandengankelahiran, perkawinandankematian, danberbagaibentukmengaji. Sedangkanwujudkelakuan ritual yang dapatdikembalikanpadakepercayaanasalkebudayaanlokalialahberbagaibentukupacarabersaji, berbagaiupacaratahaphidupindividu, berbagaiupacaramandi, berbagaitabudankeharusan, seringberkenaandenganpakaiandanperhiasan, keharusanziarahketempat-tempattertentu, dantabumembawamakanantertentu di dalamkendaraan. Namun di dalamkelakuantersebutsering kali terkandungunsur-unsur yang dapatdikembalikankepadaajaran Islam.
Orang Banjarrelatiftaatmenjalankanagamanya.Shalatdilakukandenganteratur, meski pun adakalanyatidaktepatwaktu. Meski pun jelasadasaja orang yang tidakberpuasadalambulanRamadlan, khususnya di kota-kota, tetapi yang jelastidakada orang yang secaraterbukamemperlihatkaniatidakberpuasa, dananak-anakseringdiperingatkan agar tidak “mengganggu” orang yang berpuasadengancaramemakansesuatu di hadapannya.Zakat jugaditunaikandenganteratur, di sinikhususnya zakat fitrah, zakat padidan zakat barang-barang yang diperniagakan.Kegairahanuntukmenunaikanibadah haji di kawasaninimungkin yang terbesar di Indonesia.Dan adasaat-saattertentu orang-orang melakukanibadahsunat, shalatsunat, puasasunat dan sedekahsunat.
Segala ibadah dan doa memang ditujukan kepada Allah dan tidak dapat ditujukan kepada makhlukNya tidak ada yang dapat mengabulkan doa kecuali Allah. Namunbagi orang Banjardoa yang diucapkan orang salehdianggapmakbuldanrestu yang diberikannyadenganmelakukanshalathajatsangatbermanfaat.[3]
Seperti itulah gambaran singkat model Islam di Kalimantan Selatan. Berawal dari model Islam inilah sehingga menimbulkan perayaan keagamaan-keagamaan yang mungkin hanya terdapat di daerah Banjar saja.

B.     Pandangan Islam Terhadap Budaya Lokal dan Perayaan Keagamaan Pra-Islam di Banjar
Hal yang terkait antara Islam dan budaya adalah ritual-ritual keagamaan yang berasal dari kepercayaan dan upacara keagamaan pra-Islam. Ketika Islam masuk dalam suatu masyarakat, mereka biasanya telah memiliki kepercayaan dan upacara keagamaan tertentu. Maka terjadilah interaksi antara agama yang lama dan yang baru. Dalam konteks ini ada beberapa kemungkinan terjadi:
·         Islam mengahapus secara perlahan hingga tuntas kepercayaan dan upacara keagamaan yang ada.
·         Masyarakat terbelah menjadi dua kelompok, satu kelompok menerima Islam, sementara kelompok yang lainnya bertahan dengan kepercayaan dan upacara keagamaan lama.
·         Islam masuk ke dalam suatu upacara keagamaan dengan cara mengganti kepercayaan dan kegiatannya sehingga sesuai dengan kepercayaan dan ritual Islam.
·         Upacara keagamaan itu dilaksanakan sekedar melestarikan tradisi nenek moyang dalam rangka kepentingan pariwisata, sementara unsur-unsur kepercayaan yang mendasarinya sudah lagi dipercayai masyarakat.
Pada dasarnya semua aliran dalam Islam percaya bahwa ajaran-ajaran Islam harus menjadi acuan bagi kebudayaan masyarakat. Apapun yang dianggap bertentangan dengan Islam, sebisa mungkin diusahakan agar menjadi sejalan dengan Islam atau yang sering kali disebut dengan proses Islamisasi. Tetapi ketika pandangan ini diterapkan secara praktis dalam menghadapi kebudayaan keagamaan pra-Islam, paling kurang muncul dua sikap yang bertolak belakang. Pertama, ada kalangan yang berpendapat bahwa apapun bentuk ritual yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW, maka semua itu adalah bid’ah dan harus ditolak. Apalagi pada mulanya ritual itu berdasarkan kepada kepercayaan yang mengandung syirik. Pendapat Kedua, ada pula kalangan yang berpendapat bahwa ritual itu dapat diislamisasikan dengan diisi kegiatan dan kepercayaan yang sesuai dengan Islam. Dengan berpegang kepada pendapat yang kedua ini, Islam akan lebih mudah menyatu dalam kebudayaan setempat. Pendapat pertama disebut sebagai gerakan pemurnian, karena sikap mereka yang berusaha membersihkan apapun yang dianggap bukan berasal dari ajaran Islam. Sedangkan pendapat kedua disebut gerakan tradisional karena sikap mereka yang menerima tradisi, budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi. Perlu dicatat, baik kalangan pemurnian ataupun kalangan tradisional, sama-sama mendasarkan pendapat mereka pada Alqur’an dan Hadis.[4]
Resistensi kepercayaan dan praktek-praktek keagamaan pra-Islam di Kalimantan Selatan mendapat tantangan dari kalangan Islam skripturalis. Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (1122-1227 H/ 1710-1812 M) salah seorang ulama besar Indonesia asal Kalimantan Selatan sendiri  menulis kitab khusus  berjudul Tuhfat al-Raghibin. Selain menjelaskan tentang prinsip keimanan dan ketauhidan dalam Islam, kitab itu sekaligus juga mengecam kepercayaan dan praktek-praktek lokal yang tidak  sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Termasuk di antara ysng disebutkan al-Banjari sebagai bertentangan dengan Islam adalah praktek “menyanggar”, persisnya “membuat ancak, meberi makanan (sesajian kepada datu-datu ghaib dan sebagainya yang lazim dilakukan sebagian umat Islam di sekitar daerah Kalimantan.[5]
Menurut Syekh Arsyad, apabila upacara-upacara seperti menyanggar dan membuang pasilih itu dilakukan, maka hukumnya adalah sebagai berikut:
a)      Bila diyakini, bahwa tidak tertolak bahaya kecuali melalui kedua upacara itu, maka hukumnya kafir.
b)      Bila diyakini, bahwa tertolaknya bahaya adalah disebabkan karena kekuatan yang diciptakan Allah pada kedua upacara itu, maka hukumnya bid’ah lagi fasik tetapi tetap kafir.
c)      Bila diyakini bahwa kedua upacara itu tidak memberi bekas dengan kekuasaan yang ada padanya atau kekuatan yang dijadikan Tuhan padanya tetapi Allah menolak bahaya itu dengan memberlakukan hukum kebiasaan dengan kedua upacara itu, tetapi hukumnya tidak kafir, tetapi bid’ah saja. Namun apabila diyakini kedua upacara itu halal atau tidak terlarang maka hukumnya kafir.
Upacara menyanggar dan membuang pasilih hanyalah sebagai contoh yang disebutkan Syekh Arsyad dari sekian banyak upacara-upacara atau perayaan keagamaan pra-Islam.[6]
C.     Perayaan Keagamaan di Kalimantan Selatan
Perayaan keagamaan banyak sekali jenisnya di Kalimantasn Selatan. Sehingga untuk memudahkan untuk membahasnya, maka harus kita klasifikasikan dulu berdasarkan waktunya.  Pertama perayaan keagamaan berdasarkanhari-hari besar Islam yang resmi. Kedua Perayaan keagamaan berdasarkan hari-hari besar Islam tidak resmi.
Yang dimaksud dengan hari-hari besar Islam resmi adalah peringatan yang dirayakan oleh umat seluruh umat muslim seperti Kelahiran Nabi, Perayaan Isro Mi’raj, dua hari raya dan peringatan turunnya Alqur’an. Sedangkan yang dimaksud dengan hari-hari besar Islam yang tidak resmi adalah hari-hari besar yang diperingatidi daerah Banjar saja seperti hari asura, arba mustamir, nisfu sya’ban, malam lailatul qadar dan memulai tahun kamariyah.[7]
a.      Perayaan Keagamaan Berdasarkan Hari-hari besar Islam Resmi
1.      Kelahiran Nabi
·         Maulid di Tinjau dari Sejarah
Pendapat Pertama
Menurut As-Syaikh Al-Sakhowi, al-Maqrizi Al-Syafi'i (854 H) (seorang ahli sejarah islam) dalam bukunya "Al-Khutath" menjelaskan bahwa maulid Nabi mulai diperingati pada abad IV Hijriyah oleh Dinasti Fathimiyyah di Mesir. Dinasti Fathimiyyah mulai menguasai Mesir pada tahun 358 H dengan rajanya Al-Muiz Lidinillah, Namun sebenarnya menurutNico Kaptein peneliti sejarah kebudayaan Islam dari Leiden University sumber asli yang menyebutkan tentang Maulid Nabi pada zaman tersebut sudah hilang. Konsekuensinya, perayaan Maulid pada zaman Fathimiyyah hanya diketahui secara tidak langsung dari beberapa sumber sejarawan yang hidup belakangan seperti Al-Maqrizi yang hanya melacak dari kitab yang telah hilang dari ulama zaman Fathimiyyah yaitu Ibnu Ma’mun dan Ibnu Tuwayr.
Ibnu Al-Ma’mun:Kitab Sejarah yang paling awal menyebutkan tentang maulid di zaman Fathimiyyah adalah kitab karangan Ibn Al-Ma’mun. Sebenarnya kitab ini sudah hilang tetapi ada beberapa penulis yang menggunakan sumber dari hasil karya beliau di antaranya adalah Ibn Zafir (Wafat 613/1216) Kedua Ibn Muyassar (677/1277), ketiga Ibn Abd Al Zahir(w 692/1292). Tetapi yang paling banyak menggunakan sumber dokumentasi sejarah Ibn Ma’mun adalah sejarawan Al-Maqrizi Al-Syafi'i.
Dalam beberapa bagian dalam kitab Khutat, Ibn Al-Ma’mun adalah salah satu sumber yang paling penting tentang deskripsi acara acara yang dilakukan oleh Dinasti Fathimiyyah seperti perayaan hari besar, festival, upacara dan lain sebagainya. Karena Ibn Al-Ma’mun adalah saksi hidup sebagai anak dari seorang wazir yang biasa menyelenggarakan banyak kegiatan perayaan dan seremonial kerajaan. Maulid di kenal kala itu dengan kata “Qala”. Ibn Al-Ma’mun berkata : sejak Afdhal Syahinsyah ibn Amirul Juyusy Badr al-Jamali menjadi wazir dia menghapus empat perayaan maulid yaitu maulid Nabi, Ali, Fatimah, dan imam yang saat itu memerintah. Sampai dia wafat tahun 515H barulah perayaan Maulid Nabi diselenggarakan lagi seperti dahulu oleh khalifah Al-Amir dan itu diteruskan sampai sekarang.
Ibn Al-Tuwayr: Sumber kedua dari informasi perayaan Maulid pada zaman Fatimiyah adalah Ibn Al-Tuwayr. Penulis yang banyak menggunakan tulisan dia sebagai sumber sejarah adalah di antaranya adalah Ibn Al-Furat (807H), Ibn Khaldun (808H), Ibn Duqmaq (809H), Al-Qashashandi (821H), Al-Maqrazi (845H), Ibn Hajar Al-Asqalani (874H), Penulis-penulis tersebut menggunakan sumber informasi Ibn Tuwayr untuk mengkaji peristiwa-peristiwa yang terjadi pada era Dinasti Fathimiyyah. Beberapa peristiwa sejarah penting tentang sebuah perayaan terdapat di dalam dokumennya yang disebut mukhlaqat yang kemudian dicatat oleh para sejarawan selanjutnya seperti Al-Maqrizi yang kitab nya bisa kita baca pada zaman sekarang.
Ibn Al-Tuwayr berkata, perayaan Maulid saat dinasti Fathimiyyah itu ada enam perayaan dan di antaranya adalah perayaan Maulid Nabi, Ali Bin Abi Thalib, Fatimah, Hasan, Husein, dan Khalifah yang saat itu memerintah. Ketika 12 Rabiul Awal datang, di beberapa tempat diadakan acara besar seperti membaca Al-Qur’an, pengajian di beberapa masjid dan mushola, dan beberapa majelis juga ikut untuk merayakannya.
Pendapat Kedua
Sedangkan Ibnu Katsir dalam kitab tarikhnya bidayah wa nihayah, diikuti oleh Alhafiz Imam Suyuthi dalam Husn Al-MaqsidFi 'Amal al-Maulid juga pendapat yang dikuatkan oleh Prof Dr Sayyid Muhammad Alwi Al maliki dalam kitabnya Haula al Ihtifal bil Maulidi Nabawy As Syarif, menurut mereka yang pertama kali mengadakan Maulid Nabi adalah seorang Raja Irbil (Saat itu gubernur terkadang di sebut malik atau amir).
Irbil saat itu adalah propinsi masuk dalam Dinasti Ayyubiyyah. Irbil saat ini masuk dalam wilayah Kurdistan Iraq) yang dikenal keshalehannya dan kebaikannya dalam sejarah Islam yaitu Malik Muzhaffaruddin Abu Said Kukburi ibn Zainuddin Ali Ibn Tubaktakin pada tahun 630 H. Beliau adalah seorang pembesar dinasti Ayyubiyah yang kemudian dia mendapatkan mandat untuk memerintah Irbil pada tahun 586 H.
Sekalipun dalam dua pendapat ini menyatakan bahwa perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW mulai dilakukan pada permulaan abad ke 4 H dan tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, para sahabat dan generasi Salaf.Namun walaupundemikian tidak berarti hukum perayaan Maulid Nabi dilarang atau sesuatu yang haram. Karena segala sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW atau tidak pernah dilakukan oleh para sahabatnya belum tentu bertentangan dengan ajaran Rasulullah sendiri sebagaimana yang akan kami terangkan secara detail nanti pada bab hukum merayakan Maulid Nabi.[8]
·         Peringatan Maulid di Kalimantan Selatan
Nabi Muhammad SAW lahir pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal. Kegiatan merayakan atau memperingati kelahiran Nabi tersebut di kalangan masyarakat Banjar dinamakan Bamulud, berasal dari kata bahasa arab “mawlud” berarti kelahiran. Sepanjang bulan tersebut selalu ada terdengar bacaan bamulud di kawasan Kalimantan Selatan.
Di martapura dan sekitarnya, memperingati hari lahir Nabi merupakan  kegiatan langgar, mesjid dan sekolah-sekolah. Mesjid yang terkemuka biasanya melaksanakannya pada tanggal 12 rabi’ul awwal. Tetapi kalau Mesjid atau langgar yang biasa-biasa saja biasanya melaksanakannya tidak harus tanggal 12. Selain diisi dengan pembacaan maulid, acara ini biasanya juga disisipkan ceramah agama sekitar kelahiran Nabi dan acara tambahan berupa pembacaan ayat-ayat suci Alqur’an, sambutan-sambutan, doa dan yang terakhir adalah menikmati hidangan yang disediakan oleh tuan rumah.
Dahulu syair maulid yang dibaca adalah Mawlid Barzanji(Sayyid Ja’far Al Barzanji), Mawlid Syaraf al anam  atau Mawlid al Daiba’(Imam Wajihuddin 'Abdur Rahman bin Muhammad ). Belakangan ini yang paling sering dibaca ketika perayaan maulid adalah syair Mawlid al Habsyi (Al-Habib Al-Imam Al-Allamah Ali bin Muhammad bin Husin Al-Habsyi) yang  dipopulerkan oleh seorang ulama karismatik yang bernama K.H. Zaini Abdul Ghani.Mawlid al Habsyi ini untuk bisa memahirkan dan mengamalkannya diperlukan Ijazah[9].[10]
Dalam dua dekade terakhir, Mawlid al Habsyiyang dipopulerkan oleh tuan guru besar K.H. Zaini Abdul Ghanisangatpopuler di Kalimantan Selatan. Dalam kaitannya dalam kajian tasawwuf, dapat diteliti bagaimana hubungan ‘amalan Mawlid al Habsyi’ dengan ajaran tasawwuf yang dikembangkan oleh beliau. Hal ini dapat kita lihat dari sudut metode suluk ataupun dari sudut ajaran. Tarekat Sammaniyah yang berkembang di Kalimantan Selatan sejak masa Muhammad Nafis al-Banjari, memberikan perhatian yang cukup tinggi pada shalawat ketimbang dzikir untuk sampai kepada Tuhan. Nah benarkah pandangan ini jika lihat dari keberadaan Mawlid al Habsyiyang bukan saja dibaca pada bulan maulid tapi juga dijadikan sebagai amalan rutin.[11]
2.      PerayaanMi’raj
Setiap bulan ketujuh dari bulan Arab yaitu Rajab tepatnya pada tanggal 27, orang-orang banjar melakukan perayaan keagamaan yang dinamai dengan bami’rat. Sebuah perayaan keagamaan untuk memperingati peristiwa Nabi Muhammad SAW naik ke langit menghadap Tuhan. Perayaan ini tidak mesti dilakukan pada tanggal 27, tetapi boleh saja dilakukan diluar tanggal 27 asalkan tetap pada suasana Rajab. Bami’raj biasanya merupakan kegiatan langgar atau mesjid, sekolah-sekolah, perkumpulan-perkumpulan dan kadang-kadang kegiatan kampung, dan jarang sekali kegiatan rumah tangga.
            Di Martapura acaranya diisi dengan acara ceramah sekitar peristiwa mi’raj, doa dan makan bersama, dan kadang-kadang ditambah dengan acara membaca ayat-ayat suci Alqur’an. Kalau disekolah-sekolah ditambah lagi dengan acara sambutan-sambutan. Selain itu biasanya ketika perayaan mi’raj ini ditambah lagi dengan acara pembacaan kitab Dardir, sebuah kitab berisi kisah Nabi mi’raj dan doa haul jamak. [12]
3.      Hari Raya Puasa dan Haji
            Menjelang akhir Ramadhan dan tanggal 10 dzulhijjah biasanya kaum wanita disibukan dengan kegiatan menyiapkan berbagai penganan untuk keperluan lebaran. Manisan, tapai ketan dan kue  putu termasuk kue yang selalu ada setiap dua hari raya ini datang. Lapat dan lemang biasanya makanan yang yang taidak pernah absen saat lebaran datang. Lebih-lebih lagi daerah Martapura, Makanan ini di ibaratkan wajib ada setiap lebaran. Pada malam hari raya, makanan dan kue ini mereka antar ketetangga terdekat dan keluarga sambil silaturahmi dengan makna saling memaafkan.[13]
            Pada saat pagi hari datang, orang-orang pergi kemesjid untuk melaksanakan Shalat Id. Setelah selesai shalat Id para jama’ah biasanya bersalaman-salaman dulu sebagai tanda ucapan selamat hari raya. Sebagian mereka ada yang tidak langsung pulang kerumah tetapi ada yang pergi kekubur-kubur keluarga dulu atau kubur tokoh ulama setempat.
Pada hari raya puasa, saat malam hari rayanya orang-orang melaksanakan zakat fitrah, sebagian orang-orang membayar zakat fitrah ini dengan guru ngaji mereka, namun ada juga yang membayar zakat fitrah ini dengan orang-orang yang dikategorikan fakir miskin. Selain disibukan dengan membayar zakat, pada malam hari raya puasa ini orang-orang juga disibukan dengan takbiran.
Tak jauh beda dengan hari raya puasa, orang-orang juga disibukan dengan acara yang sama saat malam hari raya haji terkecuali dengan membayar zakat.Keggiatanhariraya haji jatuhpadatanggal 10 dzulhijjahdantigaharisesudahnya. Jikapadaharirayapuasaterdapat zakat fitrah, sedangkanpadahariraya haji adapenyembelihanhewanqurban yang dilaksanakanpada sore hariatauhari-hariberikutnyasampaihariketiga. Hewan yang biasa dijadikan qurban biasanya sapi, kambing atau domba dan jarang sekali kerbau. Hewan-hewan in merupakan korban warga-warga  tertentu dalam masyarakat, kambing atau domba untuk seorang warga, sedangkan sapi dan kerbau untuk tujuh orang.[14]
4.      Peringatan Turunnya Alqu’an
Alqur’an dipercayai diturunkan pada tanggal 17 Ramadhan, dan sekitar itulah biasanya dilakukan kegiatan merayakannya. Mesjid Martapura biasanya melakukan perayaan ini tepat pada tanggal 17 Ramadhan, yang diisi dengan ceramah, pembacaan ayat-ayat suci Alqur’an, sambutan bupati, dan acara hiburan berupa pembacaan maulud habsyi oleh kelompok pembaca terbaik di Martapura sendiri.[15]
b.      Perayaan Keagamaan Berdasarkan Hari-hari besar Islam Tidak Resmi
Perayaan Keagamaan Berdasarkan Hari-hari besar Islam Tidak Resmi adalah perayaan keagamaan yang mungkin hanya didapati di Kalimantan Selatan saja.
1.      Hari Asyura
Perayaan Asura ini dilaksanakan pada bulan Muharram, bulan pertama dalam kalender kamariyah, tepatnya pada tanggal 10 Muharram. Pada tanggal 10 tersebut orang-orang disibukan dengan membuat bubur asura. Sebelumnya dilakukan dulu acara sumbangan untuk mengumpulkan dana pembuatan bubur asura. Kegiatan pembuatan bubur asura ini dilakukan pihak ibu-ibu. Apabila sudah masak, maka kaum laki-laki dikampung itu besaruan. Setelah terkumpul maka bubur itu dihidangkan dan dibacakan doa selamat oleh orang alim, dan acara pun selesai.
            Bubur Asura itu terbuat dari beras yang dimasak dengan santan dan dicampur dengan segala macam sayur-sayuran. Pembuatan bubur ini konon merupakan kenangan terhadap suatu peristiwa pada zaman dahulu, ketika dalam suasana terkepung dan kekurangan makanan, dikumpulkan segala macam tumbuh-tumbuhan yang tumbuh disekitarnya dan dicampur dengan persedian bahan makanan yang ada menjadi bubur yang bisa dimakan. Ini adalah kisah dari Sayyidina Hasan dan Husin yang menimpa mereka beserta rombongan di karbala.[16] Sehingga orang Banjar mengambil hikmah dari kisah tersebut dengan meniru-niru kegiatan mereka.

2.      Arba Musta’mir
Konon dalam bulan Safar banyak terjadi malapetaka, seperti banjir, kebakaran, wabah penyakit dan kecelakaan. Bulan ini juga dianggap sebagai bulan panas yang ditandai dengan banyaknya kebakaran dan mewabahnya penyakit bahkan juga biasa ditandai dengan pertikaian kecil menjadi pertumpahan darah yang besar. Juga bulan ini merupakan kesempatan untuk keluarga-keluarga luas tertentu untuk mengeluarkan racun untuk “memakan” darah manusia agar dengan demikian bencana racun tidak menimpa salah seorang anggota kerabat dekatnya selama tahun berjalan. Selamatan dan berbagai tindakan religius lain dalam bulan ini bertujuan agar keselamatan diri dan keluarga tetap terjamin dan secara umum menjamin keselamatan warga selingkungan dan mendinginkan suasana panas bulan. Berbagai tindakan religius itu adalah seperti menggantungkan wafak dan halinjuang, membuat air safar (banyu safar). Pohon halinjuang adalah sejenis pohon yang sering ditanam orang di atas kuburan. Wafak daun halinjuang ini dimintakan kepada seorang ulama untuk membacakan doa selamat.
Apabila gejala panas bulan safar meningkat, ini diketahui dengan berbagai macam peristiwa yang dianggap malapetaka seperti bencana alam, kebakaran alam, wabah penyakit dan peristiwa perkelahian maka biasanya salah satu cara untuk mendinginkannya adalah dengan cara membacakan Qosidah Burdah berulang-ulang. Yang dapat dilakukan secara berjamaah atau sendiri-sendiri.[17]

3.      Pertengahan Sya’ban (Nisfu Sya’ban)
 Sya’ban adalah bulan kedelapan dari tarikh arab, biasa dinamakan orang-orang Banjar dengan bulan nisfu. Pelaksanaan nisfu Sya’ban ini tepat dilaksanakan pada tanggal 15 Sya’ban. Kegiatan ini diikuti oleh laki-laki dan wanita, anak-anak yang sudah agak besar pun diikutsertakan pula. Mula-mula kegiatan ini dilaksanakan sembahyang magrib berjamaah dimesjid atau dilanggar yang kemudian diteruskan dengan pembacaan surah Yasîn bersama tiga kali secara berturut-turut. Setiap kali membaca, tokoh yang memimpin acara memperingatkan tiga buah niat membaca yasîn yaitu, yang pertama dengan niat mohon panjangkan umur dalam keadaan taat, yang kedua dengan niat memohon rezeki yang banyak dan halal, dan niat yang ketiga adalah memohon ditetapkan iman sampai akhir hayat. Setelah selesai membaca yasin tiga kali dilanjutkan dengan pembacaan doa khusus yang isinya menegaskan niat-niat tersebut. Setelah shalat Isya, amaliyah dimesjid atau dilanggar dilanjutkan lagi acara shalat tasbih secara berjamaah. Dan pada siang harinya masyarakat banjar melaksanakan puasa nisfu sya’ban.[18]
4.      Malam Lailatul Qadar
Pada malam-malam sepuluh terakhir dari bulan puasa, orang menyalakan lampu di halaman rumahatau ditepi jalan dihadapan rumah masing-masing. Namun kegiatan ini sudah semakain hilang karena adanya listrik yang masuk didaerah-daerah.
Malam lailatul qadar adalah malam yang digambarkan sebagai malam yang penuh berkah yang berasal dari Allah SWT, bagi sebagian besar orang, tibanya malam lailatul qadartidak bisa ditentukan waktunya, tetapi bagi sebagian besar yang lain malam lailatul qadar ini dapat diketahui mereka dengan berdasarkan hari dimulainya Ramadhan. Mereka yang mengetahui kapan datangnya malam lailatul qadar ini mengutip pendapatnya Imam Al-Gazali. Lailatul qadar datang Pada malam 21 (bila puasa dimulai hari Senin), malam ke-23 (bila puasa dimulai pada hari Sabtu), pada malam ke-25 (bila puasa dimulai pada hari Kamis), malam ke-27 (bila puasa dimulai pada hari Selasa dan Jum’at), pada malam ke-29 (bila puasa dimulai pada hari Minggu dan Rabu).
Cerita tentang malam lailatul qadar yang beredar dalam masyarakat ialah nukilan dari kisah riwayat hidup Syekh Arsyad. Orang tua Syekh Arsyad yang menemui malam tersebut memohon agar diberi anak yang alim. Dan Syekh Arsyad yang juga menemukan malam lailatul qadar itu juga berdoa agar diberikan keturunan yang alim sebanyak tujuh turun-temurun.
Perayaan malam lailatul qadar ini bersifat pribadi. Biasanya pada waktu tengah malam tepatnya pada malam-malam yang ganjil pada sepuluh hari terakhir, orang-orang pergi kemesjid atau kelanggar untuk melaksanakan amal-amalan. Seperti shalat tahajud, shalat hajat, shalat tasbih. Serta ditambah dengan berdzikir dan membaca Alqur’an. [19]
5.      Malam Tahun Kamariyah
Tahun baru Hijriyah disambutdengan acara perayaan pembacaan doa selamat dengan berbagai cara. Selamatan ini dinamakan dengan selamatan hidup tahun dan biasanya dilakukan pada tanggal satu atau pada saat minggu-minggu pertama dari bulan Muharram dilaksanakan pada pagi hari. Hidangannya terbuat dari bubur habang dan bubur putih dan doa yang dibaca adalah shalawat munjiyat. Yang diundang adalah sejumlah tetangga dan orang-orang tertentu. Tujuan selamatan ini adalah agar selamat selama setahun mendatang. Ini adalah perayaan yang dilkukan oleh warga sekitar Dalam pagar.
Namun dibeberapa daerah perayaan malam tahun kamariyah ini tidak dibacakan shalawat munjiyat, tetapi diganti dengan pembacaan surah-surah pendek dalam Alqur’an seperti surah Al-ikhlas, Al-falaq, An-Nas. Dan dibacakan doa selamat atau tolak bala.[20]
Perayaan malam tahu baru kamariyah ini berbeda lagi dengan perayaan dikampung halaman penulis. Pada saat malam tahun baru itu datang, orang-orang sibuk menghiasi mobil-mobil Pick up untuk melaksanakan pawai keliling kampung. Pawai ini diisi dengan acara pembacaan shalawat burdah dan diakhiri dengan pembacaan doa selamat dimesjid kampung.


     
           


PENUTUP
Telah kita ketahui bersama bahwa perayaan keagamaan di Kalimantan Selatan sungguh sangatlah banyak, baik perayaan keagamaan yang sudah berkembang pra-Islam seperti menyanggar dan membuang pasilih maupun perayaan keagamaan dalam Islam sendiri. Perayaan ini berkembang luas saat Islam belum berkembang di Kalimantan Selatan. Bukan hanya terbatas dua perayaan itu saja, banyak sekali perayaan keagamaan pra-Islam namun yang penulis sebutkan hanya menyanggar dan membuang pasilih.
            Islam datang saat kebudayaan di Kalimantan sudah bercampur dengan animisme dan dinamisme. Di kalimatan Selatan perayaan keagamaan yang berbau seperti itu ada yang dihapuskan dan ada yang di Islamisasikan. Memang memerlukan waktu untuk proses itu, karena memang sudah diketahui bahwa masyarakat Banjar ini adalah masyarakat yang fanatisme, sehingga dalam proses menghapuskan dan menghilangkan perayaan keagamaan pra-Islam memerlukan waktu yang relatif lama.
            Perayaan keagamaan dalam Islam juga sangat banyak di Kalimantan, namun ternyata semua perayaan itu tidaklah bertentangan dengan ajaran yang utama, yaitu Alqur’an dan Hadis. Beberapa perayaan itu seperti, pembacaan maulid, peringatan isro mi’raj, peringatan nuzulul qur’an, perayaan dua hari raya, nisfu sya’ban, arba musta’mir, perayaan malam tahun baru kamariyah, dan lain sebagainya.








DAFTAR PUSTAKA


Azra, Azyumardi.“Interaksi dan Akomodasi Islam dengan Budaya Melayu Kalimantan”, dalam Aswab Mahasin (ed.),  Ruh Islam dalam Budaya Bangsa Aneka Budaya Nusantara. Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, 1996.
Daud, Alfani. Islam dan Masyarakat Banjar: Diskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar. Jakarta:  PT RajaGrapindo Persada, 1997.
Ideham,Suriansyah. Urang Banjar dan Kebudayaannya. Banjarmasin: Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Propinsi Kalimantan Selatan, 2005.
Mujiburrahman. Mengindonesiakan Islam Representasi dan Ideologi.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Wajidi. Akluturasi Budaya Banjar di Banua Halat. Yogyakarta, Pustaka Book Publisher, 2011.
Yusuf,Khudori. “Maulid”, http://dc308.4shared.com,(diakses pada tanggal 8 mei 2012).
Zainuddin,Hasan.“Kehidupan Islam Kalsel”,http: hasanzainuddin.wordpress.com, (diakses pada tanggal 3 mei 2012).


[1] Mujiburrahman, Mengindonesiakan Islam Representasi dan Ideologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 386.
[2] Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar: Diskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar (Jakarta:  PT RajaGrapindo Persada, 1997), 5.
[3] Hasan Zainuddin, “ Kehidupan Islam Kalsel”, http: hasanzainuddin.wordpress.com, (diakses pada tanggal 3 mei 2012).
[4] Wajidi, Akluturasi Budaya Banjar di Banua Halat (Yogyakarta, Pustaka Book Publisher, 2011), xix-xx.
[5] Azyumardi Azra, “Interaksi dan Akomodasi Islam dengan Budaya Melayu Kalimantan”, dalam Aswab Mahasin (ed.),  Ruh Islam dalam Budaya Bangsa Aneka Budaya Nusantara (Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, 1996), 191.
[6] Suriansyah Ideham, Urang Banjar dan Kebudayaannya (Banjarmasin: Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Propinsi Kalimantan Selatan, 2005), 45-46.
[7] Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar: Diskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, 318.
[8]Khudori Yusuf, “Maulid”, http://dc308.4shared.com, ( diakses pada tanggal 8 mei 2012).
[9]  Ijazah adalah pernyataan izin mengamalkannya yang sambung menyambung melalui guru-guru yang berijazah pula sejak dari pengarangnya.
[10] Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar: Diskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, 319-323.
[11]Mujiburrahman, Mengindonesiakan Islam Representasi dan Ideologi, 100.
[12] Alfani Daud,  Islam dan Masyarakat Banjar: Diskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, 324.
[13] Alfani Daud,  Islam dan Masyarakat Banjar: Diskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, 325.
[14] Alfani Daud,  Islam dan Masyarakat Banjar: Diskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, 325-328.
[15] Alfani Daud,  Islam dan Masyarakat Banjar: Diskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, 328.
[16] Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar: Diskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, 329-330.
[17]Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar: Diskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, 330-334.
[18] Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar: Diskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, 334-336.
[19] Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar: Diskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, 336-338.
[20]Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar: Diskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, 338-339.