PENDAHULUAN
Alquran
adalah kitab suci umat Islam yang menjadi dasar segala segi kehidupan manusia.
Ia diyakini sebagai sumber kebenaran yang mutlak. Karena datang dari Allah swt.
Maka dari itu umat Islam merasa perlu untuk mempelajari Alquran secara
menyeluruh untuk menjaga otentisitasnya. Upaya itu telah dilaksanakan sejak
Nabi Muhammad Saw masih berada di Mekkah sampai hijrah ke Madinah, bahkan usaha
pemeliharaan Alquran masih berlangsung sampai sekarang.
Meskipun
Alquran itu adalah wahyu Ilahi yang bersifat qath’i, namun pada prakteknya
terdapat dua penilaian yang kontradikfif terhadap Alquran.Penilaian pertama
datangnya dari kaum muslim sendiri sedangkan penilaian yang kedua datangnya
dari kalangan non muslim (Orientalis).
Penilaian
dari luar (orientalis) pada umumnya bersifat negatif. Menurut mereka, Alquran
itu bukanlah wahyu Allah, melainkan hasil karya Nabi Muhammad yang sumbernya
dari berbagai pihak.
Dalam
makalah ini, akan dibahas mengenai berbagai macam pendapat orientalis tentang
otentisitas Alquran. Dari aspek mana saja para kaum orientalis mencari celah
untuk menyerang Alquran, dan apa-apa saja argumen mereka.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Alquran
Di
kalangan para ulama dan pakar bahasa Arab, tidak ada kesepakatan mengenai asal
pengambilan dan arti kata Alquran. Menurut al-Syâfi’î, kata Alquran adalah nama
asli dan tidak pernah diambil dari kata lain. Kata tersebut khusus dipakai untuk
nama firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Menurut
al-Asy’arî, kata Alquran berasal dari kata qarana
yang berarti menggabungkan, sebab surat-surat dan ayat-ayat Alquran itu
telah digabungkan antara yang satu dengan yang lain sehinggga menjadi satu.
Menurut al-Lihyânî, kata Alquran berasal dari kata kerja qara’a yang
berarti membaca dengan padanan kata fu’lân
namun mengandung makna maqrû’ yang
dalam bahasa Indonesia berarti yang dibaca atau bacaan.
Menurut
Shubhî Shâlih, dari semua pendapat di atas, hanya pendapat
al-Lihyânî yang dipandang paling kuat dan diterima oleh mayoritas ulama.
Hal ini disebabkan Alquran sendiri telah mempergunakan kata qur’an tanpa al dengan arti bacaan. Misalnya yang terdapat dalam Q.S al-Qiyâmah
(75); 17-18:
¨bÎ)
$uZøn=tã
¼çmyè÷Hsd
¼çmtR#uäöè%ur
ÇÊÐÈ #sÎ*sù
çm»tRù&ts%
ôìÎ7¨?$$sù
¼çmtR#uäöè%
ÇÊÑÈ
Artinya:
Sesungguhnya atas tanggungan kamilah
mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. apabila Kami
telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.
Dari kalangan orientalis, seperti Schawally,
Welhausen dan Horofitz berpendapat bahwa Alquran itu berasal dari
kata keryana. Keryana dalam bahasa
Ibrani atau Suryani yang berarti bacaan atau apa yang dibaca. Mereka juga
mengatakan bahwa kata qirâ’at dengan arti membaca tidak berasal dari bahasa
Arab asli. Pendapat para kaum orientalis ini ternyata di bantah oleh Subhî
Shâlih dalam karyanya Mabâhits Fî ‘Ulûm Alqurân yang menyatakan
bahwa kata qara’a dengan arti membaca
memang belum dipakai oleh orang-orang Arab pada masa jahiliyyah dahulu. Waktu
itu, kata qara’a dipakai dengan arti
bunting. Sedangkan kata qara’a dengan
arti membaca dipungut oleh orang-orang Arab dari bahasa Arami.[1]
Secara
terminologi, menurut Dr. Muhammad ‘Alî al-Shâbûnî Alquran adalah:
كلام
الله المنزل على خاتم الأنبياء والمرسلين بواسطة اللأمين جبريل عليه السلام
المكتوب في المصاحف المنقول الينا باالتواتر المبدوء بسورة الفاتحه المختوم
بالسورة الناس
“Kalamullah yang mu’jiz yang diturunkan
kepada Nabi dan Rasul terakhir dengan perantara malaikat Jibril As yang ditulis
dalam mushhaf, disampaikan kepada kita secara mutawatir, dan dimulai dengan
surah al-Fâtihah dan diakhiri dengan surah an-Nâs.”[2]
B. Selayang Pandang Tentang Alquran
Alquran
terdiri dari 114 bab yang disebut dengan surah atau shurah (jamak: shuwar). Setiap
surah Alquran, di samping menyandang
nomor urut, memiliki nama yang di ambil dari kandungannya. Masing-masing surah
terdiri dari sejumlah ayat (ayah, jamak:
ayat). Surah-surah AlQuran memiliki panjang dan jumlah ayat yang berbeda.
Jumlah ayat paling kecil dalam suatu surah adalah 3 (QS 103, 108, dan 110),
sementara jumlah ayat terbesar adalah 286 (QS 2). Seratus empat belas surah Alquran
seacra keeluruhan mengandung 6.236 ayat. Satu ayat Alquran mungkin terdiri dari
hanya beberapa huruf atau sepanjang puluhan kata.
Alquran diwahyukan dengan jumlah
ayat bervariasi. Ayat-ayat dalam satu surah terlapas dari surah-surah pendek
biasanya membahas bebagai isu yang berbeda. Karena itu, pokok pembicaraan
ayat-ayat yang berurutan tidak mesti terkait satu sama lain. Ayat-ayat dalam
surah-surah panjang tidak selalu di susun menurut urutan historis turunnya.
Dalam surah tertentu, biasanya di temukan sejumlah ayat yang turun lebih awal di
tengah-tengah ayat-ayat yang turun lebih belakangan, dan demikian pula
sebaliknya. Misalnya, sejumlah surah yang di wahyukan sebelum hijrah Nabi saw.
Dari Makkah ke Madinah memuat ayat-ayat yang di wahyukan setelah hijrah.
Surah-surah itu sendiri tidak di susun dalam Kitab suci menurut urutan
pewahyuannya. Misalnya surah yang memuat ayat-ayat yang pertama di wahyukan
memiliki nomor urut 96 dalam Alquran dan, karenanya, surah pertama dalam Alquran
bukanlah surah yang pertama di wahyukan. Penyusunan dalam suarh-surah dalam
mushaf Alquran dan ayat-ayat dalam setiap surah yang khas ini di pandang
sebagai bagian dari kemurnian Alquran itu sendiri. Dengan kata lain, ayat dan
surah di susun seperti itu oleh Nabi Muhammad Saw. Sebagaimana di ajarkan Allah
Swt.
Alquran adalah kitab suci untuk
menggenal Allah, Tuhan Yang Esa. Kitab ini di wahyukan kepada Nabi Muhammad
Saw. (570-632 M) selama kurang lebih 22 tahun (610-632 M). kitab suci ini
berisi kisah-kisah historis para nabi yang hidup sebelum masa Nabi Muhammad Saw.
Perlu dikemukakan bahwa penyebutan peristiwa-peristiwa historis yang terbesar
dalam Alquran pada dasarnya dimaksudkan untuk menekankan pesan keagamaan yang
dikandumg peristiwa-peristiwa itu. Karenanya, penekanannya bukan pada penuturan
sejarah secara konvensional, seperti halnya dalam Bibel. Dengan kata lain,
penekanannya tidak terletk pada sejarah saja, tetapi pada pelajaran di balik
peristiwa historis. Oleh karena itu, dalam hal dan gaya strukturnya, juga
kandungannya, Alquran sangat berbeda dengan Bibel.
Salah satu kekhasan kisah-kisah Alquran
adalah keringkasannnya. Beberapa detail historis yang biasanya sangat penting
dalam dongeng tradisional tidak disebutkan dalam Alquran. Misalnya nama-nama
karakter dan tempat-tempat utama sering tidak disebutkan dalam Alquran. Salah
satu contoh penting adalah nama istri Adam yang tidak pernah di sebutkan dalam
kitab suci ini, meskipun kisahnya sering dibicarakan di sejumlah bagian. Contoh
lainnya adalah tempat kelahiran Isa (Yesus). Yang menarik , nama raja Mesir
dalam kisah Musa juga tidak disebut dalam Alquran, dan hanya disebut dengan
gelarnya, Firaun. Ini mengisyaratkan bahwa Firaun juga tidak disebutkan namanya
dalam Taurat, kitab suci yang diwahyukan kepada Musa. Hal ini menjelaskan fakta
yang mengganggu sebagian sarjana (misalnya Dever, 1997:68) bahwa Firaun tidak
disebutkan namanya dalam kisah Musa dalam Bibel. Harus diingat bahwa Bibel
sebagian berasal dari Taurat. Demikian pula, Alquran tidak menyebut secara
khusus durasi peristiwa-peristiwa.
Detail kisah Alquran mungkin ditemukan
terpencar pencar diseluruh kitab suci ini dalam sejumlah ayat yang berbeda,
karena ayat-ayat yang berurutan dalam satu surah tidak mesti saling terkait
secara langsung, sebagaimana telah disebutkan. Beberapa rinciannya mungkin di
ulang dalam lebih dari satu surat. Karena gaya Alquran dalam menarasikan
sejarahlah sehingga penyebutan berulang-ulang terhadap pristiwa tertentu
mungkin mengambil bentuk yang berbeda dalam surah-surah yang berbeda. Misalnya,
suatu perkataan seorang tokoh historis mungkin muncul dalam sejumlah ungkapan
yang bereda dengan maksud menunjukkan makna perkataan tersebut. Dalam banyak
kasus, perkataan tersebut aslinya tidak diucapkan dalam bahasa Arab Alquran,
kadang-kadang sama sekali tidak dalam bahasa Arab, seperti dialog antara Musa
dan Fir’aun (yang tentulah berlangsung dalam bahasa Mesir kuno. Penyebutan
detail historis tertentu dalam surah yang berbeda dapat menunjukan perbedaan
tekanan terhadap aspek-aspek kisah tersebut. Oleh karena itu, untuk menyusun
suatu gambaran yang lengkap dan utuh dari suatu kisah dalam Alquran, kita harus
menyatukan seluruh penggalan kisah tersebut yang tersebar disepanjang Alquran.[3]
C. Kritik Orientalis Tentang Otentisitas Alquran
Alquran menurut pandangan dan keyakinan umat Islam
adalah kalam (firman) Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Pandangan
yang demikian tentu tidak selalu diterima oleh orang-orang non muslim. Sebagian
mereka berusaha menampik pandangan tersebut. Bahkan sebagian orientalis
mengemukakan pandangannya tentang sisi kepalsuan dari Alquran dengan sangat
berlebihan. Orientalis menyerang Alquran dalam berbagai
dimensi untuk dapat menyajikan suatu citra beberapa upaya dan tujuan Barat
dalam mencemarkan kemurnian teks Alquran menggunakan sumber-sumber tidak etik
dan penipuan. Berikut beberapa pandangan mereka
terhadap Alquran.
a.
Alquran Bukan Kalam Allah
Seorang orientalis yang bernama Dr. Hendreck
Kreamer mengemukakan pandangan tentang Alquran dalam bukunya yang berjudul Agama
Islam sebagai berikut:
“Kitab Alquran itu berasal dari tiga pihak. Pertama,
semacam buah pikiran dan perolehan Nabi Muhammad sendiri yang timbul oleh
pergaulan Nabi dengan orang lain. Dari itu terbitlah khutbahnya tentang Allah
ta’ala yang Esa, hari kiamat, hukuman, dan syari’at agamanya. Kedua, Nabi
mendapatkannya dari orang-orang Yahudi dan Masehi pada masa itu. Misalnya
tentang puasa, zakat, shalat, hikayat-hikayat Nabi dan lain sebagainya. Ketiga,
berbagai macam rupa yang timbul dalam ingatannya atau yang didengarnya kemudian
diperkenalkannya sebagai firman Allah”.[4]
Dan menurutnya lagi,
sebagian isi Alquran diperoleh dari kitab Perjanjian Lama, sedangkan
ajaran tentang hari kiamat yang pada dasarnya tidak diketahui oleh orang-orang
Arab berasal dari agama Masehi. Kreamer berpendapat seperti ini setelah ia
melihat adanya beberapa persamaan antara sebagian dari isi Alquran dengan kitab
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.[5]
Selain
Dr. Hendreck Kreamer, tokoh orientalis lainnya seperti Goldziher,
Margelot mengatakan bahwa Alquran adalah perkataan Nabi Muhammad SAW
sendiri yang sering diganti dan dirubah sesuai dengan situasi dakwah, kondisi
lingkungan dan lain sebagainya.[6]
Tokoh orientalis lainnya yang sependapat dengan mereka adalah George Sale.
Dalam pembukaan terjemahan Alquran bahasa Inggris yang terbit di London pada
tahun 1736, ia menulis:
“Muhammad
adalah penulis Alquran dan pencetus utamanya, hal ini tidak perlu diperdebatkan
lagi. Meskipun kerjasama Muhammad dengan orang lain untuk menulisakan Alquran
itu dicapai, tetapi perlu diyakini bahwa kerjasama seperti itu bukanlah suatu
hal yang mudah, karena pengikutnya tidak pernah membantahnya.”
George
Sale adalah seorang tokoh orientalis yang menekuni Islam sampai pada tahap
seakan-akan dia adalah soerang muslim yang sebenarnya. Argumen George Sale ini
pada tahun 1841 dijadikan pembukaan kembali pada terjemahan Alquran dalam
bahasa Prancis yang dilakukan tokoh orientalis lainnya yang bernama Kasmirski.
Pembukaan tersebut telah menjadi rujukan ilmiah dan andalan bagi kaum orientalis
dalam kurun waktu yang lama. Menurut mereka isinya mencakup ajaran Islam secara
utuh.
Ricard
bell, penulis buku “Introduaction to
The Quran” berpendapat bahwa ketika Nabi Muhammad menulis Alquran
berpegang teguh kepada kitab suci, khususnya kepada hal-hal yang berkaitan
dengan kurun lampau (di bagian kisah-kisah). Sebagian kisah siksaan (misalnya
tentang kaum ‘Ad dan Tsamud) bersumber dari Arab, tetapi porsi terbanyak yang
dipakai Muhammad dalam menafsirkan dan menopang pengajarannya bersumber dari
Yahudi dan Nasrani. Kesempatannya tinggal di Madinah digunakan untuk mengenal
zaman kuno, karena di Madinahlah ia berkenalan dengan generasi Yahudi. Dengan
cara seperti ini Muhammad banyak menimba pengetahuan dari kitab-kitab Mûsa.
John
Pitt, seoarang orientalis kelahiran Exeter dalam bukuya “A True and
faithful Account of Religion and Manner of Muhammadens” mengatakan bahwa
Alquran bukan merupakan wahyu Allah, lebih lanjut ia mengatakan bahwa Alquran
adalah suatu kitab yang tidak diperlukan karena Alquran merupakan kumpulan
dongeng dan legenda kepalsuan yang penuh dengan pertentangan dan membingungkan
antara ayat satu dengan ayat lainnya. Oleh karena itu John Pitt sangat
menentang jika Alquran disamakan dan disejajarkan dengan kitab suci lainnya.
Pada
abad pertengahan, sejumlah orientalis di Eropa telah meneliti konsep-konsep Muhammad
dan mereka sepakat mengatakan bahwa Nabi Muhammad bukanlah Nabi yang menerima
wahyu dari Tuhan. Karena itu, Gustav Weil berani mengambil kesimpualan
dengan mengatakan bahwa Nabi Muhammad adalah seorang penderita penyakit
epilepsi (ayan). Aloys Spreanger menambahkan pendapat Gustav Weil
dengan mengatakan bahwa Nabi Muhammad itu mengalami hysteria[7]
yang berat. Bahkan dalam menggugat keabsahan Nabi Muhammad sebagai penerima
wahyu, tokoh orientalis lainnya yang bernama Thomas Patrick Huges mengatakan
dalam bukunya The Dictionary of Islam bahwa Nabi Muhammad itu berpura-pura sajatidak
pandai menulis dan membaca agar karangan Alquran itu dapat dijadikan sebagai
mukjizat yang membuktikan bahwa Muhammad adalah seorang Rasul Allah.[8]
Pandangan
diatas adalah pandangan kaum orientalis yang negatif terhadap Alquran. Frithjof
Schoun, tokoh orientalis yang objektif mengatakan bahwa Alquran adalah
kitab yang penting untuk dipelajari sebagai bagian dari ilmu pengetahuan. Ia
mengatakan bahwa teks-teks Alquran itu mengandung makna spritual yang tercakup
dan terangkum dalam keindahan bahasa Alquran. Alquran bukanlah merupakan sebuah
legenda kepalsuan, atau bukan hanya merupakan kalam Allah, kumpulan suara,
bahasa, dan huruf-huruf, tetapi juga merupakan keunggulan dan kesempurnaan
bahasa yang teramat indah. Alquran merupakan syair sempurna dan sangat tinggi
nilainya. Meskipun begitu Alquran bukanlah kitab syair. [9]
Tidak dapat dipungkiri lagi sebab utama kaum
orientalis menuduh bahwa Alquran adalah buatan Nabi Muhammad dikarenakan dendam
terhadap Islam. Selain itu, Alquran dengan tegas mengatakan bahwa para pemuka
agama Yahudi dan Nasrani telah mengadakan perubahan terhadap kitab suci mereka.
Bahkan Alquran dengan tegas megingkari konsep trinitas agama kristen.[10]
b.
Kritikan Orientalis terhadap Kompilasi Alquran
Pintu gerbang selanjutnya yang digunakan orientalis sebagai alat penyerang
terhadap teks AI-Qur'an, salah satunya adalah menghujat tentang penulisan serta
kompilasinya. Pihak Orientalis mempertanyakan mengapa jika Alquran sudah ditulis
sejak zaman Nabi Muhammad, `Umar merasa khawatir dengan kematian para huffaz
pada peperangan Yamamah dan memberi tahu Abu Bakar akan kemungkinan lenyapnya
Kitab Suci ini lantaran kematian mereka. Lebih jauh lagi, mengapa bahan-bahan
yang telah ditulis tidak disimpan di bawah pemeliharaan Nabi Muhammad sendiri?
Jika demikian halnya, mengapa pula Zaid bin Thabit tidak dapat memanfaatkan
dalam menyiapkan Suhuf itu? Meskipun berita itu diriwayatkan oleh
al-Bukhari dan dianggap sah oleh semua kaum Muslimin, penjelasan itu tetap
dianggap oleh kalangan Orientalis bahwa apa yang didiktekan sejak awal dan
penulisannya dianggap palsu.
Menurut Athur Jeffery,
Para ilmuwan Barat tidak sependapat bahwa susunan teks Alquran yang ada di
tangan kita sekarang, sama dengan apa yang terdapat pada zaman Nabi Muhammad. Di
sini apa yang dimaksud Jeffery adalah susunan surah dan ayat-ayatnya.
Katakanlah terdapat satu naskah Alquran milik Nabi Muhammad. mengapa beliau
lalai menyerahkannya pada para Sahabat untuk disimak dan dimanfaatkan? Besar
kemungkinan, di luar perhatian, tiap nasikh-mansukh, munculnya wahyu baru,
ataupun perpindahan urutan ayat-ayat tidak akan tecermin dalam naskah di
kemudian hari. Dalam masa[ah ini, beliau akan membuat informasi keliru dan
melakukan sesuatu yang merugikan umatnya; kerugian yang ada dirasa lebih besar
dari manfaatnya. Jika naskah itu terdapat, mengapa Zaid bin Thabit tidak
memakainya sebagai sumber utama di zaman pemerintahan Abu Bakar? Sebelumnya,
telah saya kemukakan bahwa guna mendapat legitimasi sebuah dokumen, seorang murid
mesli bertindak sebagai saksi mata dan menerima secara langsung dari guru
pribadinya. Jika unsur kesaksian tidak pernah terwujud, adanya buku seorang
ilmuwan yang telah meninggal dunia, misalnya, akan menyebabkan kehilangan nilai
teks itu. Demikianlah apa yang dilakukan oleh Zaid bin Tsabit dalam mendikte
ayat-ayat Alquran kepada para Sahabat. Nabi Muhammad melembagakan sistem
jaringan jalur riwayat yang lebih tepercaya didasarkan pada hubungan antara
guru dengan murid; sebaliknya, karena beliau tidak pernah menyerahkan
bahan-bahan tertulis, maka tidak ada unsur kesaksian yang terjadi pada naskah
kertas kulit yang dapat digunakan sebagai sumber utama untuk tujuan
perbandingan, baik oleh Zaid maupun orang lain.
Tetapi jika keseluruhan Alquran telah direkam melalui tulisan semasa
kehidupan Nabi Muhammad
dan disimpan baik dalam pengawasan beliau maupun
para Sahabat, mengapa pula `Umar takut kehilangan Al-Qur' an karena syahidnya
para huffaz? Hal ini sekali lagi, menyangkut tentang hukum persaksian.
Dengan jumlah yang ribuan, para huffaz
memperoleh ilmu pengetahuan Alquran melalui satu-satunya otoritas yang saling beruntun
di muka bumi ini yang akhirnya sampai pada Nabi Muhammad Setelah beliau wafat,
mereka (para sahabat) menjadi sumber otoritas yang juga saling beruntun. Kematian
mereka hampir-hampir telah mengancam terputusnya kesaksian yang berakhir pada
Nabi Muhammad yang mengakibatkan untuk mendapat ilmu yang diberi otoritas
kurang memungkinkan. Demikian juga apabila mereka mencatat ayat-ayatnya menggunakan
tulisan tangan akan kehilangan nilai sama sekali, karena pemiliknya sudah masuk
ke liang lahat dan tidak dapat memberi pengesahan tentang kebenarannya. Kendati
mungkin terdapat secercah bahan tulisan yang secara tak sengaja persis sama
dengan Alquran seperti yang dihafal oleh yang lain, selama masih terdapat saksi
utama yang sesuai, ia akan menjadi paling tinggi, menempati urutan ke tiga dari
dokumen yang sah. Itulah sebabnya dalam membuat kompilasi Suhuf, Abu Bakar
bertahan pada pendiriannya bahwa setiap orang bukan saja mesti membawa ayat,
melainkan juga dua orang saksi guna membuktikan bahwa penyampaian bacaan itu
datang langsung dari Nabi Muhammmad (kita temukan hukum kesaksian ini juga
dihidupkan kembali di zaman pemerintahan `Utsman). Ayat-ayat yang telah ditulis
tetap terpelihara dalam rak-rak dan lemari simpanan, baik tanah Yamamah itu
mengisap darah para huffaz ataupun tidak, akan tetapi otoritas saksi
yang merupakan poin paling penting dalarn menentukan keutuhan nilai sebuah
dokumen, yang paling dijadikan titik sentral kekhawatiran ' Urnar.
c. Merubah Alquran
Pada tahun 1847, Gustav Flugel mencetak sejenis indeks Alquran. la
juga menguras tenaga ingin mengubah teks-teks Alquran yang berbahasa Arab dan
pada akhirnya menghasilkan suatu karya yang tidak dapat diterima oleh pembaca Alquran.
Sudah jadi kesepakatan di kalangan kaum Muslimin, untuk membaca Alquran harus menurut
gaya bacaan salah satu dari tujuh pakar bacaan yang terkenal yang semuanya mengikuti
kerangka tulisan `Utsmani dan sunnah dalam bacaannya (qira'ah),
perbedaan-perbedaan yang ada, kebanyakan berkisar pada beberapa tanda bacaan diakritikal
yang tidak berpengaruh sama sekali terhadap isi kandungan ayat-ayat itu. Setiap
Mushaf yang dicetak berpijak pada salah satu dari Tujuh Qira'at yang
diikuti secara seragam sejak awal hingga akhir. Tetapi Flugel menggunakan semua
tujuh sistem bacaan dan memilih satu qira'ah di sana sini dengan tidak
menentu (tanpa alasan yang benar) yang hanya membuahkan ramuan cocktail tak
berharga. Bahkan Jeffery (yang dikenal tidak begitu bersahabat dengan tradisi
keislaman) malah bersikap sinis dengan menyebut,
“Edisi Flugel yang penggunaannya begitu meluas dan berulang kali dicetak, tak ubahnya sebuah teks yang sangat amburadul, karena tidak mewakili dari tradisi teks ketimuran yang murni mau pun teks dari berbagai sumber yang ia cetak, serta tidak memiliki dasar ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan.”[11]
d. Pemutarbalikan Makna Alquran
Robert of Keton, menerbitkan Alquran yang
diproduksi Barat dengan sistem terjemahan “sensor penerbitan”. Pembela-pembela
Kristen berpegang pada Alquran produksi Barat tersebut dan
terjemahan-terjemahan lain yang kacaudan mereka tafsirkan sesuai dengan
keinginan hawa nafsu mereka. Peter The Venerable, Pedro Paskal, dan Ricardo
memahami Alquran dengan cara mereka sendiri, yaitu mengutamakan tafsir mereka
sendiri daripada tafsir Alquran yang disusun oleh umat Islam. Bhakan mereka
menolak tafsir Alquran yang dimiliki umat Islam sebagaimana yang dikatakan oleh
Daniel.
Kaum orientalis mempelajari Alquran dengan
berbagai terjemahan untuk memutarbalikkannya secara sengaja atau karena
kejahilan serta tidak bertujuan untuk memahami Alquran sebagai kitab Ilahi.
Tujuan mereka adalah memutarbalikan kebenaran dan mencari-cari sandaran atau
sarana penegsahan Injil. Alquran memerintahkan agar umat Islam mempercayai Isa
dan wahyu yang diturunkan kepadanya. Sehingga mereka beranggapan bahwa Injil
yang mereka pegang adalah kitab Ilahi. Mereka bergembira atas kepercayaan yang
diberikan Alquran kepada mereka, akan tetapi mereka tidak mau mempercayai
Alquran.[12]
e. Alquran Berasal dari Yahudi
Orientalis
kontemporer seperti Andrew Rippin pun mengakui bahwa Abraham Geiger
yang pertama kali menggunakan pendekatan baru, yaitu dengan menggunakan
aspirasi modern dalam memahami Alquran. Geiger menulis karyanya dalam bahasa
Latin, kemudian dipublikasikan pada tahun 1833 dalam bahasa Jerman dengan judul
Was Hat Muhammed aus dem Judenthum aufgenommen? (What did Muhammed Borrow
from Judaism?. Karya tersebut ditulis untuk mengikuti kompetisis masuk ke
Universitas Bonn tahun 1832.
Dalam
karyanya Geiger berpendapat bahwa kata-kata yang terdapat dalam Alquran seperti
Tabut, Taurat, Jannatu’Adn, Jahannam, Ahbar, Darasa, Rabani, Sabt, Taghut,
Furqan, Ma’un, Masani, dan Malakut berasal dari bahasa Ibrani. Selain
kata-kata diatas Geiger kemudian berpendapat bahwa Alquran juga terpengaruh
dengan agama Yahudi ketika mengemukakan hal-hal berikut. Pertama,
hal-hal yang menyangkut keimanan dan doktrin. Kedua, peraturan-peraturan
hukum dan moral, dan ketiga pandangan tentang kehidupan.
Bukan hanya itu, cerita-cerita yang
ada di dalam Alquran juga tidak terlepas dari pengaruh agama Yahudi, Geiger
juga membahas ayat-ayat dalam Alquran yang mengecam Yahudi, namun menurut
penafsiran Geiger kecaman tersebut dilakukan karena Muhammad saw telah
menyimpang dan salah paham terhadap doktrin-doktrin Yahudi.[13]
f.
Gugatan
terhadap keotentikan Alquran di Indonesia
Ketika
Nurcholis Madjid meluncurkan gagasan sekularasi pada bulan Januari 1970, mungkin belum terlintas dalam pikiran kaum
muslimin di Indonesia baahwa sekularasi dan liberalisasi Islam juga akan
menyentuh hal-hal yang sangat mendasar, yaitu seputar autensitas Alquran atau
Mushaf Utsmani. Agenda untuk meragukan keabsahan atau autensitas Alquran
sebagai wahyu Allah memang telah lama digarap secara serius oleh kalangan
orientalis dan misionaris Kristen. Hal itu misalnya dapat dilihat dalam buku Islam:
A Challenge to Faith karya Samuel M. Zwemer.
Di
Indonesia sendiri upaya untuk meragukan Alquran telah dilakukan oleh kalangan
misionaris Kristen seperti Pendeta Suradi dari kelompok Nehemia, dalam
wawancara dengan majalah Gatra, Suradi menyatakan bahwa Alquran bukanlah wahyu
dari Allah swt.
Ironisnya
upaya untuk meragukan Alquran juga muncul dikalangan aktivis jaringan Islam
liberal, meskipun dalam kadar dan cara yang lebih halus dari yang dilakukan
Zwemer, Suradi, dan lain-lain. Namun dampak yang ditimbulkan sama saja, yaitu
tidak meyakini bahwa Alquran bukan wahyu Allah, hal ini dapat dapat disimak
dalam dialog penulis dengan aktivis jaringan Islam liberal berikutnya.
Sebutlah gagasan tentang Alquran edisi
kritis oleh Islam liberal yang sebenarnya tidak mengakar dalam tradisi
pemikiran Islam, bahkan dengan mudah dapat ditelusuri bahwa gagasan seperti ini
sebenarnya meneruskan jejak kalangan orientalis dan misionaris kristen.[14]
KESIMPULAN
Alquran adalah
satu-satunya kitab suci yang menyatakan dirinya, bersih dari keraguan, dijamin
keseluruhan isinya terjaga, dan tiada mungkin dibuat tandingannya. Barangkali
sifat-sifat inilah yang membuat kalangan non-muslim, khususnya
orientalis-missionaris Yahudi dan Kristen merasa gerah.
Tetapi
tidaklah mengherankan, karena sejak Alquran diturunkan, sudah disinyalir bahwa
orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela sampai umat Islam mengikuti keinginan
dan keagamaan mereka. Selain itu, mereka ingin agar umat Islam melakukan apa
yang mereka lakukan seperti menggugat, dan mempersoalkan yang sudah jelas dan
mapan sehingga timbul keraguan terhadap yang benar dan sahih.
Dalam rangka
memberi kesan seolah-olah obyektif dan otoritatif, orientalis-missionaris biasa
berkedok sebagai pakar (expert scholar) mengenai bahasa, sejarah, agama. Dari
buku-buku yang ditulis orientalis-missionaris, secara sembunyi maupun secara
terbuka, mereka memang benci terhadap Alquran..
Alquran memang menjadi kajian utama dalam
pembahasan orientalis. Kebanyakan dari mereka menganggap bahwa Alquran bukan
kitab Ilahi. Alquran hanyalah buatan Muhammad. Dengan berbagai argumennya, kaum
orientalis mencoba menyudutkan Alquran. Serangan dengan berbagai cara telah
mereka tempuh, namun usaha mereka ternyata terbukti tidak terlalu efektif untuk
meggungat keotentikan Alquran itu sendiri.
Alquran dipelihara secara langsung oleh Allah.
Diantaranya melalui hafalan-hafalan yang dilakukan oleh kalangan muslim sendiri
dan dari kalangan cendikiawan muslim.
DAFTAR PUSTAKA
Athaillah, A. Sejarah Alquran verifikasi Tentang
Otentesitas Alquran. Banjarmasin: Antasari Press, 2007.
Fatoohi, Louay & al-Dargazelli, Shetha. Sejarah Bangsa Israel dalam Bibel dan Alquran:Sebuah
Penelitian Islamic Archaeology. Bandung: Mizan Pustaka, 2008.
Jamal, Ahmad Muhammad. Membuka
Tabir Upaya Orientalis dalam Memalsukan Islam. Bandung: CV.
Diponegoro,1991.
Zuhdi, Akhmad. Pandangan
Orientalis Barat Tentang Islam: Antara yang menghujat dan Memuji. Surabaya:
PT. Karya Pembina Swajaya, 2004.
Al-‘Azami, M.M. Sejarah
Teks Alquran: Dari Wahyu Sampai Kompilasinya. Versi Ebook. th.
Assamurai,
Qosim. Bukti-bukti Kebohongon Orientalis. Jakarta: Gema Insani Press,
1996.
Armas, Adnin. Pengaruh Kristen-Orientalis terhadap Islam Liberal: Dialog
interaktif dengan Aktifis Jaringan Islam Liberal.J akarta: Gema Insani,
2003.
[1] A. Athaillah, Sejarah Alquran verifikasi Tentang
Otentesitas Alquran (Banjarmasin: Antasari Press, 2007), 11-13.
[2] A. Athaillah, Sejarah Alquran verifikasi Tentang
Otentesitas Alquran, 18.
[3] Louay Fatoohi dan Shetha al-Dargazelli, Sejarah Bangsa Israel dalam Bibel dan Alquran:Sebuah
Penelitian Islamic Archaeology, (Bandung: Mizan Pustaka, 2008), 82-84.
[4] A. Athaillah, Sejarah Alquran verifikasi Tentang
Otentesitas Alquran, 39.
[5] A. Athaillah, Sejarah Alquran verifikasi Tentang
Otentesitas Alquran, 86.
[6] Ahmad Muhammad Jamal, Membuka
Tabir Upaya Orientalis dalam Memalsukan Islam (Bandung: CV. Diponegoro,1991),
80.
[7] Hysteria adalah penyakit gila,
abnormal. Seseorang yang tidak dapat mengontrol emosinya sehingga dalam dunia
terdapat keraguan-keraguan yang seolah ia bisa berbicara dengan makhluk lain,
makhluk gaib, atau bahkan ia merasa dapat berbicara dengan malaikat.
[8]
A. Athaillah, Sejarah Alquran
verifikasi Tentang Otentesitas Alquran, 94.
[9] Akhmad Zuhdi, Pandangan
Orientalis Barat Tentang Islam: Antara yang menghujat dan Memuji (Surabaya:
PT. Karya Pembina Swajaya, 2004), 63-68.
[10]
Ahmad Muhammad Jamal, Membuka Tabir Upaya Orientalis dalam Memalsukan
Islam (Bandung: CV. Diponegoro,1991), 63.
[11] M.M Al-‘Azami, Sejarah Teks Alquran
- Dari Wahyu Sampai Kompilasinya, Versi Ebook, th.
[12] Qosim Assamurai, Bukti-bukti
Kebohongon Orientalis (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 83-89.
[13] Adnin Armas, Pengaruh Kristen-Orientalis terhadap
Islam Liberal: Dialog interaktif dengan Aktifis Jaringan Islam Liberal, (Jakarta:
Gema Insani, 2003), 62-63.
[14] Adnin Armas, Pengaruh Kristen-Orientalis terhadap
Islam Liberal: Dialog interaktif dengan Aktifis Jaringan Islam Liberal, 61.